Oleh: Husaimah
Wartawan LPM Qalamun
Via adalah seorang perempuan yang bertahan hidup dengan bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.
Setiap malam, ia selalu dihantui mimpi buruk. Meski begitu, ia menjalani hari-harinya seakan baik-baik saja. Orang hanya melihatnya sebagai sosok ceria dengan senyuman manis, padahal di dalam dirinya tersimpan banyak ketakutan yang tak kunjung hilang.
Yang membuat luka itu semakin sulit sembuh adalah sikap orang tuanya. Mereka memang menyayangi Via, tetapi ketika ia berusaha membuka diri tentang traumanya, mereka hanya berkata:
“Nak, mau bagaimana pun, dia itu keluargamu sendiri. Kamu harus belajar memaafkan. Jangan perpanjang masalah, kita harus menjaga silaturahmi.”
Kata-kata itu seperti silet yang melukai hati Via. Bagi orang tuanya, rasa sakit yang ia alami seolah tak lebih penting daripada nama baik keluarga. Luka batinnya tidak bisa dihapus hanya dengan kata “memaafkan”.
Meskipun orang lain mungkin tak sepenuhnya mengerti, Via perlahan menyadari bahwa dirinya berhak sembuh, berhak marah, dan berhak menolak tekanan untuk berpura-pura baik-baik saja.
Berbulan-bulan setelah kejadian itu, Via mencoba memaafkan orang-orang di sekitarnya. Namun, benar kata mereka, yang sulit bukan memaafkan, tapi melupakan. Akhirnya, ia mengambil keputusan untuk pergi jauh dari kotanya—tempat yang memberinya luka mendalam. Keputusan itu tidak mudah. Jauh dari orang tua terasa berat, tetapi ia sadar bahwa semuanya harus dijalani demi kewarasan jiwanya.
Di kota baru, Palu, Via melanjutkan pendidikannya dengan harapan besar bisa sembuh. Suatu hari, di bangku kuliah, ia bertemu teman-teman baru. Untuk pertama kalinya, Via membuka sedikit cerita tentang masa lalunya. Ada satu teman yang tak banyak bertanya, tapi mendengarkan setiap kata yang diucapkan Via. Badannya bergetar karena takut dihakimi, namun yang ia terima hanyalah kalimat sederhana:
“Ayo, kamu bisa. Kamu tidak perlu melupakan, cukup berdamai dengan kejadian itu.”
Kata-kata itu seperti kunci kecil. Sejak saat itu, Via mulai menyibukkan dirinya dengan hal-hal sederhana: aktif di organisasi kampus, mendengarkan musik favorit setiap malam, dan berjalan-jalan saat akhir pekan. Awalnya terasa sulit, tetapi seiring waktu, ia menyadari bahwa ia bisa—bisa berdamai dengan traumanya.