Nama: Mohammad Alfi Syahrin
Jurusan: Pendidikan Agama Islam
Semester: I
Malam itu Denny termenung di dalam kamarnya, kamar di rumah tantenya tempat ia menumpang.
Denny termenung tentang keadaan dirinya saat itu, tentang keinginan melanjutkan kuliah atau harus berhenti karena keadaan ekonomi keluarganya.
Biaya UKT yang mahal, uang bensin kuliah sehari-hari, uang jajan sehari-hari,
“ahh apalah uang jajan. Jangankan jajan, bensin saja Untung-untungan ada”
Denny bingung, dilema, Denny frustrasi. Denny hampir kehilangan arah, Denny tidak tau harus berbagi cerita dan derita kepada siapa.
Keluarganya, kawannya, sahabatnya, semua sibuk dengan urusan mereka masing-masing, kalaupun ia cerita mungkin mereka juga punya masalah mereka sendiri. Lagi-lagi Denny harus berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri.
Terkadang ia bertanya-tanya apakah berhenti kuliah adalah takdirnya, tetapi rasanya Tuhan tidak adil jika memang harus seperti itu. Apakah kuliah hanya berhak bagi mereka yang mampu secara ekonomi?
Apakah mereka yang ekonomi keluarganya di kalangan menengah ke bawah tidak berhak mendapatkan pendidikan yang layak seperti mereka?
Berharap bantuan beasiswa dari pemerintah itu sudah pernah Denny lakukan tetapi, lagi-lagi Denny harus tereliminasi oleh proses seleksi yang tidak tau kriteria penilaiannya seperti apa.
Di tengah dilema dan keheningan malam itu, pintu kamarnya berbunyi tok-tok, sepupunya memanggilnya untuk makan malam.
Denny keluar dari kamarnya menuju meja makan, sesampainya di meja makan Denny kembali termenung melihat kondisi di meja makan.
Omnya, tantenya dan anak-anaknya sedang menyantap makanan dengan lahap di meja makan sambil bercerita tentang karier, kuliah anaknya dan keadaan keluarganya.
Situasi itu membuat Denny merasa tersinggung, sudah puluhan tahun ia tidak pernah merasakan makan malam lengkap bersama keluarga kecilnya.
Setiap dipanggil makan ia selalu menyendiri mencari tempat yang nyaman untuk menikmati makanannya, ia tidak sanggup melihat kondisi seperti itu setiap makan malam berlangsung.
Karena itu menggores Luka di hatinya. Berkumpul bersama bapak dan ibu saat makan malam dan bercerita tentang keadaan keluarga yang tidak pernah ia rasakan.
Denny hanya mengingat sosok ibunya karna orang tuanya harus bercerai diusianya masih dua tahun.
Dia tidak lagi tinggal bersama ibunya karena ibunya telah menikah dengan orang yang dia bahkan tidak mengenalinya dengan baik, tetapi meskipun begitu ibunya masih menafkahinya walaupun ekonomi ibunya juga pas-pasan.
Denny sebenarnya ingin sekali tinggal bersama ibunya, tetapi Denny tidak terbiasa dengan kehadiran sosok asing yang bernama bapak di hidupnya.
Denny memilih tinggal bersama tantenya, karna sedari kecil Denny memang besar dan tumbuh dirumah nenek yang kini sudah diwariskan kepada tantenya.
Setelah makan malam selesai Denny kembali ke kamarnya.
Sesampainya di sana telfonnya berdering, dilihatnya layar hpnya ibunya memanggil. Denny mengangkat telfonnya dan berbincang-bincang dengan ibunya, ibunya yang jauh di sana menanyakan kabar dan keadaan Denny.
Denny selalu bahagia ketika mendengar suara ibunya, baginya suara ibunya adalah sumber ketenangan hati dan jiwanya.
Denny ingin sekali menyampaikan apa yang ia rasakan tentang kebimbangannya antara harus lanjut atau putus kuliah.
Tetapi ia tau ibunya pasti sangat sedih mendengar hal itu. Denny mengurungkan niatnya, Di tengah percakapan Denny dengan ibunya ternyata ibunya ingat bahwa besok adalah hari ulang tahunnya.
Ibunya berkata besok usiamu 22 tahun nak, selamat yah….
“Nak, ibu ingin, kita sama-sama melihat apa yang bisa kita pelajari hari ini”
“Di dunia ini banyak orang yang terlahir tidak seberuntung kamu, kamu lahir dari keluarga yang cukup, meskipun tak kaya-kaya amat, tetapi kamu cukup makan tiga kali sehari dengan menu yang berbeda-beda”
“Kamu lahir dari orang tua yang pendidikannya baik, meskipun bukan seorang dokter apalagi profesor, tetapi mereka memiliki pengetahuan dasar yang lebih dari cukup untuk mendidikmu menjadi seorang yang terdidik dan berakhlak.”
“Kamu juga bisa belajar dengan baik, diberi fasilitas yang cukup, dan terpenuhi semua apa yang kau butuhkan meskipun tidak berlebihan. ”
“Sejak bayipun kamu telah diperkenalkan dengan ajaran agama, karena orang tuamu berharap, pengetahuan agama itu kelak menjadi dasar agar kamu memahami, mana yang pantas dan layak kamu lakukan, mana yang tidak boleh kamu lakukan.”
“Bagaimana kau menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi orang lain sebagaimana kamu menyayangi dirimu.”
“Tahu kamu nak…?”
“Di luar sana, banyak sekali orang yang sejak lahir sudah diuji dengan ujian yang berat”
“lahir dari orang tua yang amat sangat miskin, jangankan untuk makan sehari-hari, bisa makan sehari sekali saja sudah sangat beruntung bagi mereka”
“Banyak yang terlahir dari orang tua yang, jangankan lulus S1, bahkan mereka tidak pernah menginjak bangku sekolah.”
“Banyak juga di antara mereka yang lahir dari orang tua yang tidak lengkap, karena ayahnya meninggal saat dia tengah dalam kandungan ibunya, atau bahkan, dia lahir sementara ibunya meninggal saat melahirkan mereka.”
“Kebayang tidak nak? Bagaimana kamu hidup tanpa bapak atau tanpa ibu?”
“Padahal di usia berapapun kamu, kehadiran bapak dan ibu adalah gudang kasih sayang yang tak akan pernah ada habisnya.”
“Doa yang mereka langitkan untuk anaknya akan diijabah oleh Allah Subahanahu wa ta ala dan memudahkan jalan hidupmu, paling tidak memberkahi kehidupanmu”
“Karena itu nak… Pandanglah semua orang dengan pandangan penuh kasih, niscaya kau pun akan mendapatkan cinta dan kasih sayang semesta, lebih dari apa yang kau peruntukan bagi mereka.”
“Nak, tugasmu berat, karena sulung lelaki selalu menjadi pegangan, tumpuan dan tempat pulang berbagai masalah dalam keluarga. ”
“Jadi, teruslah betumbuh untuk menjadi kuat, kuat dan terus kuat”
“Bersabarlah engkau di atas sunah. Meskupin engkau berbeda dari keluargamu, temanmu, sahabatmu, bahkan saudaramu sendiri. Meskipun seorang diri memegang bara api”
“Seburuk apa pun penilaian orang terhadapmu jangan pernah hiraukan”
“Karena sesungguhnya hidupmu bukanlah untuk mendapatkan pujian manusia, namun semata-mata mengharap rida Allah Subahanahu wa ta ala”
“Jika ada yang menilaimu buruk, maka tersenyumlah dan lupakanlah perkataannya”
“Jika ada yang memandangmu hina, maka biarkanlah karena sesungguhnya dirimu indah hanyalah di sisi Allah”
“Hidup kita bukan tentang mereka, atau bagaimana menjadi baik dimata mereka dan menuai pujian mereka”
“Tetapi hidup kita tentang bagaimana Allah rida atas apa yang kita lakukan”
“Biarkanlah nak. Biarkan saja mereka berkata buruk, karena keburukkan hanya ada dalam pikiran mereka. ”
“Biarkan saja mereka memandangmu rendah, karena pandangan mereka tidak lantas membuat derajat kita naik”
“Teruslah berjalan dengan penuh harapan, walaupun dengan segala kekurangan dan kelemahan, senantiasa perbaiki diri untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya”
“Carilah sahabat saleh yang akan mengisi saf, menyolatkanmu kelak”
“Nak…Tak ada warisan palingan utama selain ilmu, karena ibu pasti tidak akan bisa mewarisimu dengan aset dan properti layaknya orang lain.”
“Ilmu adalah kebanggaan, tetapi di atas semua itu…Kedepankanlah adab, karena tanpa adab setinggi apa pun ilmu tak akan berarti apa-apa”
“Semangat terus nak, jalan masih panjang, tak ada kata berhenti untuk mengais ilmu”
“Harta yang banyak bisa dirampas darimu, tetapi ilmu tak akan ada seorangpun yang bisa mengambilnya dari kita”
“Nak… Jangan berhenti belajar dan meluaskan ilmu, perbaiki ibadahmu. Kelak jika kalian punya keluarga sendiri, maka biarkanlah istri dan anak-anakmu bangga pada kalian ayahnya… Pada imamnya”
“Nak.. Tahun–tahun berlalu, hingga tiba hari ini, besok usiamu 22 tahun”
“Ibu sadar bisa jadi selama ini, berjalan tidak seperti yang sesempurna kau harapkan”
“Tetapi ibu selalu berusaha agar kebersamaan kita akan selalu berlangsung indah dan membekas dalam kenanganmu”
“Pasti banyak yang membuatmu kecewa, tetapi percayalah. Keinginan ibu hanya melihat tawa dan senyum kalian”
“Karena bahagia terbesar orang tuamu ini adalah menyaksikan kalian semua bahagia dan tidak menyesal terlahir dan dibesarkan oleh ibu”
“Jika ibu menaruh harapan besar di pundakmu, dan berharap kau sukses dalam studi dan kehidupanmu, itu adalah harapan semua orang tua”
“Karena pasti akan menenangkan jika ibu meninggalkan kalian saat kalian telah mapan dan bisa mengurus diri sendiri”
“Umur senantiasa bertambah nak, tetapi menjadi dewasa adalah pilihan, saat kau dihadapkan dengan berbagai tanggung jawab”
“Menjadi contoh untuk adik-adikmu, menguatkan saudara-saudaramu dan menyelesaikan semua kewajiban hidupmu dengan sebaiknnya”
“Apa pun yang kau lakukan dan putuskan, yakinlah ibu mendukungmu dan terus mendoakan kebahagiaan dan kesuksesanmu”
“Berjuanglah nak… Ridho ibu sepanjang usiamu…”
Denny termenung, mendengar nasihat dari ibunya yang begitu tulus, tanpa terasa ia meneteskan air mata.
Denny yang begitu tegar selama ini didepan teman-temannya tak berdaya ketika mendengar nasihat dari ibunya yang sangat ia sayangi.
Seketika itu juga ia mengurungkan niatnya untuk putus atau berhenti kuliah.
Denny sadar bahwa dia harus kuat dan sabar, karna ia adalah doa dan harapan keluarganya.
Denny tersadar bahwa ia adalah harapan ibunya yang mati-matian banting tulang selama ini dan senantiasa berdoa untuk kesuksesan anaknya.
Denny pun berterima kasih kepada ibunya dan berpamitan lewat telfon. “selamat malam ibu, Denny rindu ibu, Denny sayang ibu, sehat-sehat yaa bu. Dah..”