Home CERPEN Cinta dan Dendam

Cinta dan Dendam

19
0

Oleh: Usfadia
Wartawan LPM Qalamun

Di sebuah kerajaan nan elok, hiduplah seorang gadis bernama Melati, secantik bunga yang mekar di musim semi. Ayahnya, Jenderal Wijaya, adalah perwira kepercayaan raja, dipuja rakyat karena keberanian dan kebaikannya. “Ayah,” bisik Melati suatu senja, bersandar di pundak sang jenderal, “Aku mencintaimu lebih dari apa pun di dunia ini.”Jenderal Wijaya tersenyum, “Dan Ayah mencintaimu, putriku, lebih dari nyawaku sendiri.” Suatu senja, Melati bersandar di pundak ayahnya, “Ayah, aku takut suatu hari kau akan meninggalkan aku.” Jenderal Wijaya mengusap rambut putrinya, “Jangan takut, Melati. Ayah akan selalu melindungimu.”

Namun, takdir berkata lain. Suatu pagi, kabar duka menghantam istana. Jenderal Wijaya ditemukan tewas, racun mematikan telah merenggut nyawanya.  Melati, hatinya remuk, berjanji akan membalaskan dendam ayahnya.  “Siapa yang tega melakukan ini?” isaknya, air mata membasahi pipinya. Investigasi pun dilakukan, namun hasilnya mengejutkan.  Raja sendirilah dalang di balik kematian Jenderal Wijaya. Dendam lama yang membara telah membutakan hati sang raja hingga tega membunuh orang kepercayaannya sendiri.

“Raja tega membunuh ayahku sendiri!” Melati bergumam, matanya memancarkan api dendam. Ia merencanakan balas dendam yang licik. Pangeran Mahkota, putra sang raja, menjadi sasarannya.  Dengan kecantikan dan kepintarannya, Melati menarik hati pangeran.  “Yang Mulia,” katanya dengan senyum menawan, “bolehkah aku menari untukmu?” Pangeran terpesona, “Tentu, kecantikanmu memikat hatiku.”  Melati, di balik senyumnya, menyimpan rencana balas dendam. “Kau sungguh mempesona, Melati,” bisik pangeran, terpesona oleh pesona gadis itu. “Terima kasih yang mulia atas pujiannya”

Puncak rencana Melati tiba saat pesta pertunangan mereka. Di tengah hiruk pikuk pesta, Raja ditemukan tewas di kamarnya, racun yang sama yang membunuh Jenderal Wijaya. Pangeran, hatinya hancur, menyadari kebenaran yang mengerikan.  “Kau…kau yang membunuh ayahku?” tanyanya, suaranya bergetar menahan amarah. Melati menatapnya dengan dingin, “Ini balasan atas kematian ayahku. Kau takkan pernah mengerti rasa sakit yang kurasakan.”

Pangeran Mahkota: (suaranya seperti bisikan angin malam) Melati…  Kau telah menodai istana dengan darah ayahku…

Melati: (suaranya lembut, namun tajam seperti duri mawar)  Ini bukan penodaan yang mulia, ini keadilan yang tertunda.  Bayangan kematian ayahku masih menghantui jiwaku.

Pangeran Mahkota: (pedangnya bersinar bak kilat)  Keadilan?  Kau telah menghancurkan hatiku dengan tanganmu sendiri!

Melati: (tersenyum getir, seperti bunga yang layu)  Rasa sakitku jauh lebih dalam daripada yang kau bayangkan.

Pangeran Mahkota: (mendekati Melati, langkahnya berat)  Aku akan membiarkanmu lari… karena aku masih mencintaimu, Melati.  Namun, jika aku menangkapmu… kepalamu akan menjadi persembahan terakhir untuk arwah ayahku.

Kejaran mereka bagai tarian maut di bawah langit malam yang kelam.  Angin berbisik pilu di antara pepohonan,  menyaksikan dua jiwa yang terjerat dalam pusaran dendam dan cinta.  Mereka berlari melewati lembah sunyi,  di mana bayangan panjang mereka menari-nari di atas tanah. Setiap langkah, setiap hembusan nafas adalah sebuah syair kematian yang menyayat hati.

Akhirnya, mereka tiba di tebing jurang,  angin berdesir kencang,  seperti ratapan jiwa yang terluka. Melati berdiri di ujung jurang,  wajahnya pucat seperti bulan sabit, namun matanya berbinar dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Melati: (suaranya lirih, seperti dedaunan yang gugur)  Aku takkan pernah menjadi milikmu, yang mulia.  Lebih baik aku menjadi debu di lembah ini dari pada menjadi ratu di istana yang dibangun di atas darah ayahku.

Pangeran Mahkota: (suaranya terisak, penuh kepiluan)  Melati… jangan…

Melati: (menatap Pangeran untuk terakhir kali, air mata membasahi pipinya)  Cinta kita… telah menjadi korban dendam yang tak berujung…

Dengan langkah anggun, namun penuh keputusasaan, Melati melompat ke jurang yang dalam, meninggalkan Pangeran Mahkota yang hancur, di antara bayangan dan gema langkah kaki mereka yang hilang ditelan malam. Hanya kesunyian dan angin malam yang menyaksikan akhir cerita yang tragis ini.

Previous articleSenja yang Indah
Next articleTentang Mereka

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here