Oleh: Marlo
Wartawan LPM Qalamun
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) saat ini membawa dampak besar di dunia pendidikan, khususnya bagi mahasiswa. Tidak bisa dipungkiri, AI memberi kemudahan mulai dari menyusun pertanyaan, menyiapkan jawaban, hingga membuat slide presentasi. Hanya dengan beberapa klik, mahasiswa bisa memperoleh materi yang rapi dan meyakinkan. Dari sisi efisiensi, hal ini jelas merupakan kemajuan yang patut diapresiasi.
Namun, di sisi lain, ada masalah serius: ketergantungan. Banyak mahasiswa menjadi terlalu mengandalkan AI dibanding kemampuan pribadi. Presentasi yang seharusnya menjadi wadah melatih keterampilan berpikir kritis, komunikasi, dan pemahaman materi, justru berubah menjadi ajang “membacakan hasil AI.” Ironisnya, ada mahasiswa yang bertanya tanpa benar-benar paham apa yang ditanyakan, atau menjawab tanpa memahami isi jawaban karena semua materi sepenuhnya berasal dari AI.
Padahal, esensi presentasi bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan menunjukkan pemahaman dan interpretasi mahasiswa terhadap materi. Jika fenomena ini terus dibiarkan, mahasiswa berisiko menjadi “penyampai hasil teknologi,” bukan “pemilik pengetahuan.” Kreativitas, analisis mendalam, dan kemampuan berpikir kritis berpotensi terkikis.
AI memang membantu, tetapi peran utama tetap ada pada mahasiswa. Teknologi sebaiknya dipandang sebagai alat pendukung, bukan pengganti kemampuan diri. Dengan demikian, AI bisa menjadi jembatan kemajuan, bukan belenggu yang menurunkan kualitas intelektual mahasiswa.
