Home CERPEN Apa Arti Rumah Tanpa Pelukan

Apa Arti Rumah Tanpa Pelukan

3
0

Oleh: Azizah Nur Inayah
Wartawan LPM Qalamun

Ani adalah seorang remaja yang baru saja memasuki dunia perkuliahan. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya dan dua adiknya di sebuah rumah sederhana. Dari luar, rumah itu tampak tenang. Namun di dalamnya, ada kehampaan yang tak pernah bisa ia ungkapkan. Tak ada pelukan, tak ada percakapan hangat—hanya kesunyian yang mengisi ruang-ruang kosong. Televisi menyala tanpa penonton, suara sendok beradu dengan piring terdengar seadanya, dan percakapan keluarga sebatas pertanyaan singkat: “Sudah makan?” atau “Besok berangkat jam berapa?” Semua terasa dingin, seakan rumah itu berdiri tanpa jiwa.

Setiap hari, Ani memendam perasaannya sendiri. Ia ingin berkata, ingin meminta kembali kehangatan yang dulu pernah ada, tetapi lidahnya kelu. Ia takut, ragu, dan akhirnya memilih diam. Hanya bantal di ruang tamu yang sering ia peluk, seolah benda mati itu bisa menggantikan pelukan keluarga yang lama hilang.

Setiap kali ayahnya pulang, yang terdengar hanyalah langkah kaki berat menuju kamar, tanpa sapaan, tanpa senyum, tanpa genggaman hangat. Ani menunduk, berpura-pura sibuk dengan buku kuliahnya, padahal dalam hati ia begitu merindukan sekadar sentuhan lembut di kepalanya atau pelukan yang membuatnya yakin bahwa ia dicintai. Di rumahnya sendiri, Ani merasa seperti tamu yang tak diundang.

Perasaan itu makin terasa saat Ani melihat teman-temannya di kampus. Ada yang dijemput ibunya dengan senyum hangat, ada pula yang dengan manja meraih pelukan ayahnya. Ia sering pura-pura tersenyum, meski dalam hati bergemuruh rasa iri. Hatinya selalu bertanya lirih: Apa arti rumah tanpa pelukan? Apakah rumah masih pantas disebut rumah bila kehangatan di dalamnya telah hilang?

Hari-hari terus berjalan dengan ritme yang sama: bangun, kuliah, pulang, lalu tenggelam dalam kesunyian rumah. Sesekali, Ani berpikir mungkin inilah yang dinamakan dewasa—belajar kuat tanpa harus dimanja. Namun batinnya menolak. Ia tahu, sekencang apa pun ia berusaha, manusia tetap butuh pelukan, sekadar untuk merasa bahwa dirinya berharga.

Hingga suatu malam, keberanian kecil itu muncul. Saat makan malam, Ani meletakkan sendoknya dan berkata lirih,
“Ayah, Ibu… aku rindu rumah yang dulu. Rumah dengan pelukan, bukan hanya dengan diam.”

Kalimat sederhana itu membuat kedua orang tuanya tertegun. Mereka saling pandang, seakan tersadar betapa banyak hal yang telah terabaikan oleh kesibukan dan lelah.

Suasana meja makan berubah hening. Ayah menatap Ani dengan mata yang mulai berkaca-kaca, sementara Ibu menunduk, menahan getaran di dadanya. Kata-kata Ani, meski sederhana, mampu mengguncang benteng ego yang selama ini mereka bangun. Dalam sekejap, rumah itu terasa berbeda—bukan karena suara, tapi karena hati yang akhirnya berani bicara.

Tanpa kata panjang, ayahnya berdiri dan merengkuh Ani dalam pelukan yang lama hilang. Ibu pun ikut mendekap, meneteskan air mata yang selama ini dipendam. Pelukan itu mungkin singkat, tapi cukup untuk menghapus dingin yang menahun. Dalam dekapan itu, Ani merasakan kembali arti rumah yang sesungguhnya.

Rumah bukan sekadar dinding, atap, atau meja makan. Rumah adalah tempat kembali, tempat hati merasa aman, tempat pelukan selalu menjadi jawaban. Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ani benar-benar merasa pulang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here