Home CERPEN Gara-Gara Satu Kata

Gara-Gara Satu Kata

4
0

Oleh: Marlo
Wartawan LPM Qalamun

Siang itu di SMA Negeri 1 Sojol, suasana kelas agak ramai. Beberapa cowok duduk di teras, ada yang selonjoran, ada yang bersandar di dinding sambil tertawa. Obrolan mereka ngalor-ngidul, dari bola hingga gosip anak kelas lain.

Di dalam kelas, tiga cewek duduk di bangku belakang: Rani, Mira, dan Sinta.

“Eh, gue mau nanya deh,” kata Mira sambil tersenyum. “Menurut kalian, di kelas kita ada nggak sih cowok yang keren?”

Sinta melirik sebentar, lalu terkekeh. “Kayaknya nggak ada, deh.”

Rani nyeletuk spontan, “Iya lah, jelek semua malah.”

Mereka bertiga langsung tertawa. Tidak ada maksud jahat, hanya bercanda ala anak sekolah. Namun, ucapan itu terdengar oleh Dika yang sedang duduk di teras.

Dika terkejut, buru-buru keluar kelas, lalu menghampiri teman-temannya.

“Eh bro,” katanya agak keras, “tau nggak barusan Rani ngomong apa?”

“Ngomong apa?” tanya Bima penasaran.

“Dia bilang cowok-cowok di kelas ini jelek semua. Gue denger sendiri,” ujar Dika dengan nada kesal.

Cowok-cowok langsung ribut.
“Masa sih?”
“Parah banget tuh cewek.”
“Kurang ajar banget ngomong gitu.”

Keesokan harinya, suasana kelas berubah dingin. Begitu Rani masuk, hampir semua cowok langsung menjauh. Ada yang berbisik, ada juga yang sengaja memindahkan kursi.

“Udah, jangan deket-deket sama dia,” gumam salah satu.
“Orang nggak tau diri,” timpal yang lain.

Rani berhenti sejenak, merasa aneh. Ia menepuk bahu Mira. “Mir, kenapa mereka semua pada gitu ke aku?”

Mira hanya bisa menggeleng, bingung.

Hari-hari berikutnya makin sulit. Rani sering sendirian, bahkan disindir terang-terangan.
“Itu loh, cewek yang bilang kita jelek semua,” bisik beberapa cowok sambil tertawa.

Awalnya Rani mencoba cuek, tapi lama-lama hatinya hancur. Pulang sekolah, ia menangis sendiri.
“Cuma gara-gara aku ngomong begitu, kenapa mereka jadi benci banget sama aku?”

Puncaknya, Bu Aina, wali kelas mereka, menemukan selembar kertas di kolong meja. Isinya cerita ngawur menggunakan nama Rani dan salah satu cowok, dengan kata-kata kasar dan tidak pantas.

“Siapa yang bikin tulisan ini?” suara Bu Aina tegas, membuat kelas mendadak hening.

Semua murid saling pandang, ada yang pucat, ada yang pura-pura tidak tahu.

“Kalau nggak ada yang ngaku, Ibu bawa ke kepala sekolah,” lanjut Bu Aina.

Akhirnya, beberapa cowok mengaku. Mereka membuat cerita itu untuk mengerjai Rani.

Rani hanya bisa menunduk. Matanya merah, napasnya berat. Ia sedih, marah, sekaligus kecewa.
“Gila ya… cuma gara-gara aku salah ngomong, kalian tega banget bikin aku kayak gini?” suaranya bergetar.

Mira segera menggenggam tangan Rani. “Ran, maaf ya. Aku juga salah. Aku malah ketawa waktu itu. Harusnya aku bela kamu.”

Sinta mengangguk, wajahnya penuh rasa bersalah. “Iya Ran, aku nyesel banget. Bener-bener nggak nyangka bakal sejauh ini.”

Rani terisak. “Aku bener-bener nggak kuat. Rasanya semua orang benci sama aku.”

Akhirnya, orang tua Rani dipanggil ke sekolah. Pihak sekolah turun tangan, dan cowok-cowok yang membuat cerita itu mendapat hukuman. Namun, luka di hati Rani tidak mudah sembuh.

Sejak kejadian itu, semua anak di kelas sadar: mulut itu kecil, tapi tajam. Sekali salah bicara bisa menyakiti orang lain, sekali salah berbuat bisa meninggalkan penyesalan seumur hidup.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here