Oleh: Saiful
Pengurus Redaksional
Sore itu, kampus tampak sudah sepi setelah jam kuliah berakhir. Di sebuah kantin yang selalu jadi tempat berkumpul, tiga mahasiswa (Anjas, Saiful, dan Wahid) duduk berdekatan. Bukan buku atau kertas yang mereka bawa, melainkan satu hal yang kini lebih sering memantik keresahan: layar ponsel.
“Eh, lihat ini,” kata Saiful sambil mengarahkan HP-nya ke dua temannya. Di layarnya terpampang berita tentang RKUHAP yang baru saja disahkan. “Katanya, beberapa pasalnya bisa bikin orang gampang kena masalah kalau mengkritik sembarangan.”
Anjas mendecak. “Sembarangan apanya? Kadang yang dianggap ‘sembarangan’ itu cuma karena kritiknya nggak enak didengar. Negara besar kok baper.”
Wahid yang daritadi hanya melihat dari sebelahnya Saiful akhirnya angkat bicara, suaranya tenang seperti biasa. “Yang bikin ngeri itu bukan cuma isinya, tapi cara mereka ngejelasinnya. Semuanya terasa serba longgar, serba bisa ditafsir seenaknya.”
Saiful menggulir berita itu, membaca komentar-komentar yang tak kalah panas. “Lihat komennya orang-orang, banyak yang takut. Banyak juga yang marah.”
“Wajarlah,” kata Anjas. Ia mengambil HP sendiri, membuka berita lain untuk memastikan. “Negara besar harusnya terbuka sama kritik, Kalau pasal-pasalnya malah bikin orang mikir dua kali sebelum ngomong, itu artinya ada yang salah.”
Wahid menghela napas panjang. “Kadang saya berpikir, apakah suara kita bakal di dengar? Kan hanya tiga mahasiswa saja, itupun cuma komentar lewat HP.”
Saiful menepuk bahunya. “Justru dari HP berita bisa viral, dari komentar kecil bisa jadi percakapan besar. Zaman sekarang suara kecil bisa menggema jauh, kalau kita berani mulai.”
Anjas tersenyum tipis, tapi raut wajahnya tetap serius. “bagaimana kalau kita turun aksi ? Minimal ajak diskusi teman-teman kampus yang lain.”
Wahid menatap layar hp yang masih menyala di tangan Saiful. Sorot berita itu memantul di matanya. “Ayo, Kritik itu bukan kejahatan. Kalau negara besar mulai takut kritik kecil, justru kita yang harus makin berani.”
Ketiganya berdiri hampir bersamaan. Sambil memasukkan HP ke saku masing-masing, mereka melangkah meninggalkan kantin. Angin sore menyambut, membawa keresahan dan keberanian yang tumbuh perlahan.
Di kampus yang terasa terlalu sunyi untuk sebuah negara yang katanya besar, tiga mahasiswa hukum tatanegara itu bergerak bukan sebagai pahlawan, bukan sebagai tokoh penting, tapi sebagai suara kecil yang menolak diam.
Dan dari layar kecil ponsel, keresahan itu berubah menjadi tekad:
kritik kecil, untuk negara besar.







