Home CERPEN Bayangan di Balik Tirai Patriarki

Bayangan di Balik Tirai Patriarki

6
0

Oleh: Nayla Alkaf
Pengurus Redaksional

Rina, tumbuh di tengah kepompong patriarki yang erat membelit. Ayahnya, Rama, adalah sosok yang disegani, sementara Indah, ibunya, selalu tunduk dan melayani. Sejak kecil, perlakuan orang tua kepada Rina dan kakaknya, Rasya, sangat berbanding terbalik.

Puncaknya terjadi ketika Rina di kelas 11 SMA. Ia mendapatkan penghargaan sebagai siswa terbaik di sekolah. Semua orang memberinya ucapan selamat. Sepulangnya ke rumah, ia berniat memberitahukan kabar gembira ini kepada orang rumah, namun kenyataannya tak sesuai apa yang ia bayangkan.
Rasya, yang sedang duduk santai, meliriknya sekilas sebelum berucap ketus.

“Hanya karena dapat penghargaan itu saja udah sombong, belum juga siswa terbaik se-Indonesia. Dulu aku tidak pernah tuh jadi siswa terbaik, tapi Ayah selalu bangga kepadaku,”

Wajah Rina langsung memucat, senyum bangga yang tadinya ia bawa dari sekolah lenyap seketika, tergantikan oleh rasa perih yang menjalar di dada.

Rama lalu tertawa mendengar perkataan putra sulung kesayangannya itu. Rina saat itu masih berharap agar Ayah juga mengapresiasi usahanya.

“Kamu Rasya, walaupun kamu tidak pernah mendapatkan penghargaan tapi permintaanmu yang mana yang Ayah tidak pernah kabulkan?”

Rama menepuk bahu Rasya dengan bangga, matanya bahkan tidak sedikit pun melirik ke arah Rina.

Hati Rina mencelos. Ia hanya bisa berteriak dalam batin. Kenapa Ayah selalu pilih kasih kepadaku dan lebih berpihak kepada Kakak? Perasaan Rina hancur berkeping-keping. Ia merasakan sakit yang sudah familier, rasa terabaikan yang mendarah daging.

Rina pun pamit ke kamar kepada mereka berdua. Sesampainya di kamar, ia menangis sejadi-jadinya, isaknya tertahan di bantal yang basah. 18 tahun bukanlah waktu yang singkat baginya, namun mendengar Ayah mengapresiasi dan bangga kepadanya terasa mustahil, seperti menguras air laut. Sejak saat itu, Rina pun bertekad untuk keluar secepat mungkin dari rumah itu.

Beberapa tahun berlalu. Rina kini berusia 22 tahun dan baru saja menyelesaikan studi S1 dengan predikat cum laude. Ia telah menabung dan merencanakan kepergiannya. Suatu sore, ketika Rina sedang menikmati secangkir teh di teras, Indah mendekat dengan wajah muram, membawa kabar yang menghancurkan harapannya.

“Rina, Ayah dan Ibu sudah menemukan pria yang cocok untukmu. Dia anak Pak Lurah, dari keluarga terpandang. Kalian akan segera dijodohkan,”

Seketika, cangkir teh di tangan Rina bergetar. Darahnya serasa mendidih. Ia merasa seluruh perjuangannya selama ini sia-sia.

“APA?! DIJODOHKAN?! KENAPA SIH DARI LAHIR SAMPAI SEKARANG SEMUANYA DIATUR?! Aku juga punya kehidupan pribadi, apalagi terkait pasangan sehidup semati!”

Suara Rina memekik, air matanya tumpah ruah, bercampur amarah dan keputusasaan yang selama ini ia pendam.
Indah hanya bisa menunduk, tak berani menatap mata putrinya.

“Ini demi kebaikanmu, Nak. Hidupmu akan terjamin,”

Indah mencoba meraih tangan Rina, tetapi Rina menariknya menjauh.

“Kebaikan siapa, Bu? Kebaikan Ayah? Kebaikan Rasya? Kebaikan masyarakat yang selalu menuntut perempuan harus begini dan begitu?”

Rina berlari masuk, hatinya berteriak protes. Ini bukan lagi tentang apresiasi, ini tentang hak asasi, tentang pilihan hidup. Ia tidak ingin bernasib sama seperti Indah.

Malam itu, Rina membuat keputusan drastis. Ia akan pergi, bagaimanapun caranya. Ia tidak akan menikah dengan pria yang tidak ia cintai.

Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, Rina membawa tas ransel berisi sedikit pakaian dan ijazahnya. Ia meninggalkan sepucuk surat di meja makan.

(Isi Surat Rina)
“Maafkan Rina, Bu. Rina harus pergi. Rina ingin mencari hidup Rina sendiri. Rina ingin membuktikan bahwa perempuan bisa memilih jalannya sendiri, bukan hanya ditentukan oleh takdir yang orang lain tuliskan. Maaf Bu,”

Rina meletakkan surat itu, merasakan perih sekaligus lega. Ini adalah langkah paling berani yang pernah ia ambil.

Berita kepergian Rina menggemparkan keluarga. Rama murka, menganggap Rina telah mencoreng nama baik keluarga. Sementara Indah, ia diam-diam menangis dalam setiap sujudnya, merindukan putrinya.

Rina memulai hidup barunya di kota besar. Ia bekerja serabutan, berjuang keras untuk bertahan hidup. Ia tidur di kos sempit, tetapi setiap malam, ia memandang langit, merasakan kebebasan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia ingin membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin, bukan hanya pendamping.

Lima tahun berlalu. Rina kini adalah seorang manajer proyek terkemuka. Suatu hari, ia menerima surat duka: Indah meninggal dunia. Rina pulang untuk pertama kalinya. Ia melihat Rama yang menua, sorot matanya tak lagi seangkuh dulu.

Dalam acara tahlilan, seorang tetangga mendekati Rina.

“Nak Rina, ibumu dulu sering bercerita tentangmu. Ia bangga sekali dengan prestasimu. Tapi ia selalu bilang, jangan sampai Ayahmu tahu,”

Air mata Rina menggenang, bercampur rasa penyesalan yang dalam. Ibunya bangga, tetapi harus menyembunyikannya. Ironi itu terasa menyakitkan, dan ia terlambat untuk memeluk Indah sekali lagi.
Malam itu, Rina duduk sendirian di teras, diliputi duka dan rasa bersalah karena meninggalkan ibunya. Tak lama kemudian, Rama menghampirinya.

“Rina…” Suara Rama serak, tidak ada lagi kekuasaan di sana. “Ayah… Ayah minta maaf,”

Rina menatap ayahnya, matanya basah, bingung dengan pengakuan yang baru muncul setelah bertahun-tahun penuh kebekuan.

“Maaf untuk apa, Ayah?” tanya Rina, suaranya bergetar.

“Maaf karena Ayah tidak pernah melihatmu. Tidak pernah menghargaimu. Ayah pikir, laki-laki lebih berharga. Tapi Ayah salah. Lihat kamu sekarang. Kamu berhasil. Rasya.., dia tidak punya apa-apa,”

Air mata Rina menetes, kali ini bukan karena kesedihan yang menghancurkan, tetapi karena kehangatan yang memenuhi hatinya. Di tengah duka atas kepergian Indah, ia akhirnya menerima pengakuan dan pengampunan yang ia cari selama ini. Penantian panjangnya atas pengakuan Rama akhirnya terbayar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here