Oleh: Aura Reski Ramadani
Wartawan LPM Qalamun
Di era media sosial, kesehatan mental bukan lagi isu yang bisa dianggap sepele. Kita hidup dalam dunia di mana diri kita dinilai bukan dari siapa kita sebenarnya , tetapi dari apa yang terlihat di layar kecil. Media sosial awalnya diciptakan sebagai ruang berbagai, namun perlahan berubah menjadi panggung kompetisi yang tak terlihat.
Kita men-scroll kehidupan orang lain dan tanpa sadar membandingkannya dengan hidup sendiri. Padahal yang kita lihat hanyalah potongan terbaik, sudut paling terang, momen paling cantik bukan realitas penuh dengan cacat dan kekacauan seperti hidup membuat banyak orang merasa kurang, gagal, atau tidak berharga.
Lebih parah lagi, validasi eksternal kini menjadi candu. Banyak orang merasa nilainya dittentukan oleh jumlah “like” atau komentar yang muncul. Ini berbahaya, karenaa ketika pengakuan itu tidak datang, seorang bisa merasa seolah tidak berarti. Media sosial yang seharusnya menjadi alat komunikasi berubah menjadi pengukur harga diri.
Namun, menyalahkan media sosail sepenuhnya tidak menyelesaikan apa pun. Platform itu hanyalah alat, cara kita menggukannya yang menentukan dampaknya. Kita perlu belajar mengambil jarak, menyadari bahwa tidak semua yang tampak adalah kebenaran, dan bahwa kesehatan mental selalu lebih penting dari citra digital.
Pada akhirnya, tantangan terbesar zaman ini bukanlah bagaimana membuat hidup terlihat sempurna dimedia sosial, tetapi bagaimana tetap waras dan jujur pada diri sendiri tengan dunia yang penuh ilusi.







