Nama: Firdah Syari
Jurusan: Informatika
Semester: I
Langit senja itu terlihat manis, dengan warna-warna lembut yang menyatu sempurna, seakan dunia sedang berbisik pelan. Flora Lily, café kecil yang dulu penuh dengan canda tawa kita, kini terasa berbeda. Setiap sudutnya mengingatkan pada kenangan indah yang sekarang terasa sulit untuk dijalini, dan hanya menyisakan keheningan, namun terlalu berharga untuk dilupakan.
Aku adalah Sasha, dan Maraka adalah orang yang pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku. Kami bertemu di kampus. Awalnya tidak ada yang istimewa, tapi seiring berjalannya waktu segalanya berubah. Maraka dengan senyumnya yang hangat, dan aku yang terpesona oleh ketulusan matanya. Tanpa sadar, aku jatuh cinta padanya.
Aku masih ingat bagaimana matanya bersinar saat kami melangkah bersama, seakan dunia ini hanya milik kami berdua. Tak ada yang lebih menyenangkan selain berbicara tentang impian kami, tentang masa depan yang penuh harapan. Namun, kini semua itu terasa seperti kenangan yang perlahan memudar.
Suatu sore di Flora Lily, kami duduk berhadapan di meja yang menjadi tempat favorit kami. Angin yang berhembusan masuk dari jendela, membawa aroma kopi yang menyatu dengan aroma hujan di luar. Maraka menatapku dengan serius, sesuatu yang jarang kulihat darinya.
“Kamu tahu kan, aku harus pergi,” katanya pelan, pandangannya tidak lepas dariku. Aku terdiam sejenak, memandang kopi di depanku. “Iya, aku tahu” jawabku sambil berusaha menenangkan diri.
“Kenapa kita harus berpisah?” tanyanya lagi, kali ini suaranya hampir putus asa. Aku menatapnya, dan hatiku terasa berat. “Kamu punya impian yang lebih besar, Maraka. Dan aku tidak bisa menghalangimu.” Lirih suaraku terasa berat ditenggorokan.
Maraka menarik napas panjang, seolah berusaha menerima kenyataan yang tak bisa di hindari. “Aku akan merindukanmu,” katanya perlahan, seolah kalimat itu adalah janji yang tidak bisa ditepati. Kami terdiam cukup lama, hanya suara detak jam di sudut Flora Lily yang menemani. Aku ingin mengatakan lebih banyak hal, tetapi kata-kata terasa tidak cukup. “Aku juga akan merindukanmu,” ujarku akhirnya, dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Hari itu datang begitu cepat. Kami berdiri di stasiun. Aku hanya bisa mengucapkan, “Selamat jalan, Maraka. Jaga dirimu.” Dia tersenyum kecil sambil mengulurkan tangannya untuk merangkul pundakku, kemudian dengan lembut mengelus kepalaku untuk terakhir kalinya. “Aku akan selalu mengingatmu,” ucapnya untuk terakhir kalinya. Dia melangkah mundur, dan dengan satu tatapan terakhir yang penuh makna. Maraka melangkah menuju kereta yang menunggu, meninggalkan aku dengan kenangan yang tidak bisa kami bawa bersama.
Setelah kepergiannya, aku tidak pernah lagi kembali ke Flora Lily. Tempat itu kini terasa asing, seolah-olah segala kenangan yang kami bangun di sana telah menghilang. Duduk di sana tanpa dia, aku merasa kosong, seakan seluruh suasana berubah menjadi hening, tanpa tawa dan percakapan yang dulu mengisi setiap sudutnya. Kenangan itu tetap ada, meskipun aku berusaha melupakannya. Sekarang aku harus membiarkan Maraka pergi dan melepaskan tempat itu, karena setiap sudut Flora Lily hanya menyisakan bayang-bayangan Maraka yang tidak pernah benar-benar pergi.