Nama: Widad Miftahul Jannah
Jurusan: Komunikasi dan Penyiaran Islam
Semester: I
Senja selalu menjadi waktu favorit bagi Anindya. Langit yang berubah jingga seperti melukiskan perasaannya: tenang, namun menyimpan perih.
Hari ini, Anindya duduk di taman yang sama, di atas rerumputan di bawah pohon rindang. Dia menatap sebuah buku harian di pangkuannya dan membukanya. Disana tertulis nama “Athar” —seseorang yang pernah menjadi pusat dunianya. Halaman demi halaman berisi tulisan tangan dan gambaran Anindya, lengkap dengan coretan kecil yang ia buat saat bosan.
Athar adalah langit sore bagi Anindya. Langit yang cerah, berwarna jingga, dan tenang membuat Anindya selalu hanyut dalam indahnya. Namun, langit sore yang cukup lama ia kagumi itu kini milik orang lain.
Tidak ada rasa marah, tidak ada rasa kecewa. Hanya hampa yang perlahan menjalar. Anindya tahu, mencintai tidak selalu berarti memiliki. Kadang, mencintai berarti membiarkan orang yang kita sayangi menemukan kebahagiaannya. Karena memang benar, tidak semua cerita berakhir menjadi satu.
Seribu kata yang ingin ia sampaikan kepada Athar, namun ia memilih untuk diam dan memendam semuanya. Jika ditanya alasannya kenapa? jawabannya ia tidak mau tambah merusak apa yang ada. Anindya takut akan jawaban yang diucapkan Athar. “Sakitnya cukup sekali saja”, katanya.
Tidak usah ditanya sesabar apa Ibu dan teman-teman Anindya mendengar keluh kesahnya dari tangis yang kuat, hingga sekarang perlahan mulai mereda. Prinsip Anindya “jangan lari, menderitalah hingga kau sembuh”.
Anindya berduduk menatap langit, menghirup udara sore yang mulai dingin. Dia tidak lagi menunggu dan berharap. Dia tahu, cinta tidak selalu tentang memiliki, tapi tentang merelakan dengan tulus.
Langkahnya perlahan, namun pasti. Dia juga tahu, di luar sana, ada kebahagiaan yang menantinya, meski bukan bersama Athar.
________________________________________________
“Terima kasih telah menjadi bagian dari ceritaku, terima kasih telah hadir sampai sejauh yang waktu mau, dan maaf aku telah menghadirkan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada. Untuk Athar, semoga hal baik selalu menghampirimu. Pada paragraf ini, aku mengikhlaskanmu”.
— Anindya kepada Athar.