Home CERPEN Pulang yang Selalu Dirindukan

Pulang yang Selalu Dirindukan

25
0

Oleh: Mariana
Wartawan LPM Qalamun

Di kamar kos sempit berukuran tiga kali empat meter, Ayara duduk terpaku menatap layar laptop yang redup. Di sudut meja, tumpukan buku kuliah bercampur dengan bungkus mie instan yang berserakan. Malam itu, hujan mengetuk jendela pelan, seolah ikut menyelami pikirannya yang melayang jauh.

Bukan pada tugas yang menumpuk, melainkan pada rumah kecil di kampungnya. Rumah berdinding kayu sederhana yang selalu terasa hangat meski hujan mengguyur. Ia rindu aroma masakan ibu yang mengepul dari dapur, rindu suara adik-adik yang berlarian di ruang tamu, rindu tawa ayahnya yang sederhana namun menenangkan.

Namun rindu itu hanya bisa ia simpan rapat-rapat. Uang di dompetnya kian menipis, dan sebentar lagi ia harus kembali meminta kiriman dari orang tua—sesuatu yang selalu membuat dadanya sesak.

Ayara tahu betul, ayahnya hanyalah buruh tani, sementara ibunya membantu dengan menjual kue di pasar. Setiap kali ia mengetik pesan: “Bu, Ayara butuh uang buat bayar kos,” jarinya bergetar. Selalu ada rasa bersalah, seolah setiap rupiah yang ia minta adalah keringat yang menetes dari tubuh orang tuanya.

Sering kali ia berpura-pura baik-baik saja di depan teman-temannya. Saat mereka dengan mudah memesan makanan lewat aplikasi, ia hanya tersenyum dan berkata sudah makan, padahal perutnya keroncongan. Ia terbiasa menukar lapar dengan tekad, mengencangkan ikat pinggang agar ibunya tak perlu berhutang lagi di warung tetangga.

Pernah suatu kali, ia menunda mengirim pesan itu hingga tiga hari. Selama itu, ia hanya makan roti sisa semalam dan menahan lapar dengan banyak minum air putih. Barulah setelah tubuhnya benar-benar lemas, ia memberanikan diri mengirim pesan singkat. Seperti biasa, ibunya menjawab dengan kata-kata lembut:
“Iya, Nak. Tunggu ya, Ibu usahakan.”

Padahal Ayara tahu, kata “usahakan” berarti ibunya harus kembali berhutang atau menambah jumlah kue yang dijual keesokan hari.

Malam itu, sambil menatap layar laptop, Ayara memejamkan mata. Ia membayangkan dirinya duduk di beranda rumah, ditemani segelas teh hangat buatan ibu. Tak ada suara motor yang lalu-lalang, tak ada gedung beton yang menutup langit. Hanya hamparan sawah hijau, suara jangkrik, dan hangatnya keluarga.

Air mata pun jatuh perlahan di pipinya. Ia sadar, merantau bukan hanya tentang mengejar gelar sarjana, tapi juga tentang menahan rindu, memikul beban, dan tetap bertahan meski hati sering goyah.

Ayara berbisik lirih pada dirinya sendiri:
“Aku harus kuat. Aku harus lulus. Aku harus buat mereka bahagia.”

Di luar sana, hujan masih menetes. Tapi di dalam hatinya, ada tekad kecil yang mulai menyala: suatu hari nanti, ia akan pulang—bukan lagi untuk meminta, melainkan untuk memberi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here