Home CERPEN Suara di Balik Pena

Suara di Balik Pena

7
0

Oleh: Fikra
Wartawan LPM Qalamun

Di sudut kampus yang sepi, berdirilah ruang redaksi LPM yang sederhana. Meja kayunya penuh kertas berserakan, dan dindingnya dipenuhi majalah lama. Meski tampak usang, bagi para anggotanya ruang itu adalah tempat ide-ide besar dilahirkan. Raka, salah satu anggota, percaya bahwa lewat pena, mahasiswa bisa menyuarakan kebenaran.

Suatu hari, ia menulis artikel tentang kebijakan kampus yang memberatkan mahasiswa. Tulisan itu sederhana, tapi berani. Ketika majalah LPM terbit, banyak mahasiswa merasa terwakili. Mereka bersyukur ada yang berani menuliskan keresahan yang selama ini hanya dibicarakan di kantin. Namun, tidak semua orang senang. Beberapa dosen dan birokrasi merasa terusik.

Raka pun dipanggil oleh pihak kampus untuk dimintai penjelasan. Dengan tenang ia berkata, “Kami menulis bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk mengingatkan. LPM ada agar mahasiswa punya ruang bersuara.” Ucapannya membuat ruangan hening. Meskipun ditekan, Raka tidak gentar, sebab ia yakin kebenaran tidak boleh dibungkam oleh ketakutan.

Setelah pertemuan itu, kabar tentang keberanian Raka menyebar cepat di kampus. Sejumlah mahasiswa mulai datang ke ruang redaksi, bercerita tentang berbagai masalah yang mereka alami—biaya kuliah, fasilitas kampus, hingga suara organisasi kecil yang tidak pernah didengar. Ruang LPM yang biasanya sepi kini terasa lebih hidup. Raka menyadari bahwa tulisan kecilnya telah membuka pintu bagi banyak suara untuk ikut terdengar.

Namun, tekanan tidak berhenti begitu saja. Beberapa pihak mulai mencoba membatasi distribusi majalah LPM, bahkan ada yang menyarankan agar redaksi berhenti membahas isu sensitif. Namun bagi Raka dan teman-temannya, langkah mundur bukanlah pilihan. Mereka mengadakan diskusi, memperkuat solidaritas, dan memutuskan untuk terus menulis dengan lebih hati-hati namun tetap berani. Di tengah kesulitan itu, mereka merasa semakin yakin bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia.

Suatu malam, ketika lembur di ruang redaksi, Raka menemukan sebuah catatan kecil yang diselipkan di bawah pintu. Tulisan tangan itu sederhana: *“Terima kasih telah menulis untuk kami yang tak terdengar.”* Raka terdiam lama, merasakan hangatnya dukungan itu. Catatan tersebut menjadi pengingat bahwa perjuangan mereka bukan hanya tentang idealisme, tetapi juga tentang manusia-manusia yang berharap suaranya diperhatikan.

Di edisi berikutnya, LPM menerbitkan laporan yang lebih mendalam tentang masalah kampus, namun disusun dengan data yang kuat dan narasi yang elegan. Keberanian mereka tidak lagi dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai pengingat bahwa kampus harus menjadi ruang demokrasi. Bahkan beberapa dosen mulai mengapresiasi kualitas tulisan mereka. Bagi Raka, itu adalah tanda bahwa pena, meski kecil dan ringan, tetap mampu mengguncang tembok yang kaku.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here