Home CERPEN Jejak yang Tertinggal

Jejak yang Tertinggal

5
0

Oleh: Putri Athifah
Wartawan LPM Qalamun

Langit sore itu berwarna tembaga, seakan menyimpan rahasia yang tak pernah selesai. Aira berdiri di halaman rumahnya yang sunyi, menatap pohon mangga tua yang dulu sering jadi tempat ayahnya berteduh. Daunnya bergoyang perlahan, seolah melambai padanya, namun justru membuat dada Aira semakin sesak.

Sejak ayahnya meninggal, ada ruang kosong yang tak pernah bisa diisi. Malam-malamnya dipenuhi keheningan yang menusuk, seakan setiap sudut rumah menjadi saksi bisu kerinduannya. Ia merindukan suara batuk kecil ayah di pagi hari, aroma kopi hitam yang selalu menemaninya membaca koran, hingga senyum sederhana yang mampu meringankan hari-harinya.

Namun kehilangan bukan hanya soal rindu, tapi juga arah. Langkah Aira sering goyah. Dulu, ayahlah yang menuntunnya ketika ragu memilih jalan. Kini, setiap keputusan terasa menakutkan, setiap rencana kehilangan pijakan.

Suatu sore, saat membersihkan rak buku, Aira menemukan sebuah kotak kayu berukir sederhana. Di dalamnya tersimpan buku catatan ayah yang lusuh. Jemarinya bergetar membuka lembaran pertama, lalu matanya tertumbuk pada kalimat yang ditulis dengan tinta memudar:

“Anakku, hidup ini mungkin tak selalu memberi jawaban yang kau inginkan. Tapi percayalah, setiap luka akan menumbuhkan kekuatan, jika kau belajar memeluknya dengan sabar.”

Aira menutup wajahnya dengan telapak tangan. Air mata yang ia tahan selama ini akhirnya pecah. Ia merasa seolah ayah berbicara langsung dari balik waktu.

Malam itu, duduk di beranda menatap langit penuh bintang, Aira merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan lagi sekadar rindu yang menyesakkan, melainkan kehadiran halus dan teduh—seperti bisikan doa yang menembus batas dunia.

Sejak saat itu, Aira mulai belajar menerima. Ia menyadari, meski ayah telah tiada, cintanya tetap hidup. Cinta itu menjadi cahaya kecil yang menuntunnya di setiap langkah.

Beberapa minggu kemudian, Aira menata kembali hidupnya. Ia menanam bunga-bunga kecil di sekitar pohon mangga tua, menghadirkan kehidupan baru di tempat yang dulu penuh kenangan. Setiap pagi, ia menyiramnya sambil berbicara pelan, seakan ayah masih duduk di kursi rotan di bawah pohon itu. Di sela hembusan angin, kadang ia merasa mendengar gumaman lembut yang dulu menenangkannya. Mungkin hanya imajinasi, namun bagi Aira, itu cukup membuat hatinya hangat.

Hari demi hari berlalu, dan perlahan Aira berdamai dengan kehilangan. Ia mulai menulis lagi, menuangkan perasaannya dalam kata-kata yang mengalir jujur dari hati. Di setiap tulisan, ada jejak kecil tentang ayah—tentang tawa, nasihat, dan cinta yang tetap hidup di antara baris-baris kalimat. Aira akhirnya mengerti, jejak yang tertinggal bukanlah tanda perpisahan, melainkan bukti bahwa kasih sejati tak pernah lekang oleh waktu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here