Home CERPEN Riwayat Singkat Sebuah Perjuangan

Riwayat Singkat Sebuah Perjuangan

184
0

Nama : Muhammad Nur Hidayat Malontu
Jurusan : Pendidikan Bahasa Arab
Semester : 1

Musim hujan di pertengahan bulan Juni tahun 2022, Malam reuni alumni MAN 69 Jakarta. Aku berkumpul dengan teman-teman lamaku yang dulu sama-sama bercita-cita untuk menjadi “orang”.

Sebelum semuanya berjalan lebih jauh. Perkenalkan, Lazuardi Bupala. Nama yang diberikan oleh ayahku 28 tahun lalu, dengan haran agar anaknya memimpin seperti ramahnya langit biru. Agar lebih akrab, kau bisa memanggilku “Suar”.

Aku melepas helm bututku dan meletakkannya diatas spion motor klasikku lalu masuk kedalam Kafe Pandora, disambut oleh teman-teman lamaku dengan jabatan tangan erat dan senyum lebar mereka, juga pertanyaan tentang dari mana, apakabar dan pertanyaan-pertanyaan klasik yang sudah sangat lumrah ditanyakan oleh orang-orang yang baru kembali bertemu.

Aku, ical dan amat duduk melingkar didepan meja bundar di lesehan kafe.

“War, Jauhari apa kabar? Bestie lo yang dlu sering ngopi bareng di kosan gua,” tanya ical, teman sekelasku di jurusan IPS semasa MA.

“Jauhari mah sopo? toh yang dulu sering ke kosmu iku aku, rek,” potong Amat dengan aksen jawa “medok”nya.

“Lah, lu itu cuma nongol pas kelas 1 doang ege, kelas 2 ama 3 lo kemana?” Jawab Ical.

Ku keluarkan Handphone dari sakuku dan menunjukkan mereka gambar wajah Jauhari. Jauhari, kawanku yang sering datang ke bengkel Ayahku di depan MAN 69 Jakarta dan kebetulan menjadi teman sekelasku di jurusan Teknologi Pendidikan, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Warnasari, salah satu perguruan tinggi kecil yang tidak bergengsi di Jakarta. Bahkan, jika di search di google pun tidak bakal ketemu. Biasalah, calon S. Pd..

“Ohhh… iki toh si jauhari, aku ngerti arek ki. klo ora salah de’e tuh aktivis atau opo gitu, aku uga ora ngerti, itulah poko’e,” kata Amat setelah mengisap rokoknya.

Jauhari adalah anggota dari salah satu organisasi kemahasiswaan yang berorientasikan pergerakan dan kemanusiaan yang aku juga bergabung di dalamnya. Seorang Idealis yang selalu memperjuangkan hak-hak rakyat karna latar belakang ayahnya yang seorang petani padi di Poso, salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Tengah. Ia merantau ke Jakarta dengan mimpi kesuksesan dan tinggal di rumah paman jauhnya.

Sembari menyeduh “V60”, aku menceritakan tentang keadaan Jauhari sekarang kepada sohib-sohibku.


Bermula dari OSPEK kampus kami yang sangat monoton dan hanya mengenalkan budaya akademik tanpa dogmatis mengenai pergerakan, Jauhari merasa ada yang janggal dengan OSPEK yang hanya menjunjung tinggi “Kedewaan” senior itu, hingga salah satu senior memberi kesempatan bagi MABA yang ingin memberikan sepatah kata didepan para MABA lainnya yang hanya berjumlah 346 orang. Jauhari memberanikan diri untuk mengambil pelantang dan meneriakkan “HIDUP MAHASISWA!!!” dengan suaranya yang tampak gugup dan tangannya yang gemetar, dia mendengar kalimat itu pertama kali saat melihat demonstrasi di kampung halamannya dan disitulah langkah awal ia menjadi seorang pejuang kemanusiaan.

Dalam perjalanan perkuliahannya, Jauhari sering membuat lingkaran diskusi untuk menghadirkan solusi atas rendahnya level kepekaan mahasiswa di kampusnya mengenai rasa kemanusiaan. Banyak halangan dalam tujuannya mengusahakan hal itu, mulai dari senior yang mencemooh hingga dosen yang mengancam dengan nilai “merah”.

Berbagai masa sulit berhasil dilewatinya, hingga di semester akhir perkuliahan, ia menjabat sebagai ketua komisariat ormawa di Kampus kami dan aku sebagai Wakilnya, dua orang susah yang memperjuangkan hak-hak manusia.

Jauhari dan aku sering memimpin aksi-aksi kemanusiaan dengan membawa ratusan massa dari kampus kami.

28 Oktober 2016, Puncak Aksi Buruh dan Mahasiswa untuk menuntut kenaikan Upah Minimum yang digelar di depan gedung DPR RI. Aku, Jauhari dan Para aktivis lainnya meneriakkan hak kami sebagai rakyat melalui pelantang. Saat salah satu mahasiswa UI sedang berorasi, aku sadar tak melihat batang hidung jauhari, kukelilingi hiruk pikuk demonstran, kuteriakkan nama sahabatku “JAUHARI!!!!”, namun tak kunjung ku temukan. Berteriak seseorang di pelantang “DORONG!!!!”, situasi menjadi kacau dan aku masih menelusuri keberadaan Jauhari. Beberapa saat setelah itu, Sesorang anggota ormawaku yang telah bonyok menghampiriku dan berbisik “Jauhari disana dikeroyok polisi, lu cari bantuan buru.” Aku segera memanggil rombonganku dan menolong Jauhari.

Kulihat salah seorang yang memukul Jauhari tidak berseragam, ternyata ia adalah seorang polisi yang menyamar dan sempat berteriak di pelantang. Kecurigaanku benar, kulihat ada “Handy Talky” berlogo Polri dibelakang sabuknya. Segera kami mengacau dan merebut Jauhari namun, kami terpukul mundur karena minimnya senjata yang kami miliki.

Kugotong sahabatku keatas mobil pickup menuju rumah sakit terdekat, bocor dagunya, berdarah kepalanya, ditemani air mataku yang menetes karena keadaan temanku.


Jauhari Fawwaz,
Lahir 16 Juli 1994
Wafat 28 Oktober 2016

Begitulah yang tertulis diatas nisan sahabatku yang meninggal karna pendarahan disalah satu IGD Rumah Sakit di Jakarta.

Kehadiran Jauhari membangkitkan Warnasari,
Ketiadaan Jauhari membuat Warnasari berduka,
Jauhari berhasil mewujudkan pepatah tentang “Jangan sampai ada dan tiadamu didunia ini tidak ada bedanya.”

Jauhari yang aktif, Jauhari yang vokal, Jauhari yang kritis, Jauhari yang membangkitkan semangat juang mahasiswa Warnasari.

Jauhari sang penggerak, Jauhari sang orator, Jauhari sang pejuang, Jauhari sang pembawa STKIP Warnasari yang diremehkan menjadi Warnasari yang ditakuti.

Previous articleSeseorang Yang Ku Kagumi
Next articleWarek III Sebut Bus Kampus Bukan Untuk Transportasi Utama Mahasiswa

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here