Home OPINI Kemana Agent of Change?

Kemana Agent of Change?

215
0

Nama : Muhammad Nur Hidayat Malontu
Jurusan : Pendidikan Bahasa Arab
Semester 2

Sudah menjadi kepastian bahwa jika seseorang telah menjadi mahasiswa, maka dia akan diberi peran sebagai agent of change (agen perubahan). Agent of Change ialah mahasiswa yang diharapkan mampu menjadi sosok dari agen perubahan dan menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu membawa perubahan. Dan kebanyakan mereka yang benar-benar memenuhi peran sebagai of change adalah mereka yang tergolong sebagai mahasiswa organisatoris.

Mayoritas memaknai mahasiswa organisatoris sebagai mahasiswa yang berkecimpung dan terlibat aktif di organisasi kampus adalah mahasiswa yang mempunyai jiwa humanisme atau jiwa perikemanusiaan.

Mahasiswa menjadi klien yang berharga, bukannya pembelajar, mereka mendapatkan kepercayaan diri besar tetapi sedikit ilmu. Buruk lagi, mereka tidak mengembangkan kebiasaan berpikir kritis yang bisa menjadi bekal mereka untuk terus belajar (Nichols, 2017: The Dead of Expertise). Argumen Nichols tentu menjadi tamparan telak bagi sebahagian mahasiswa yang sampai saat ini tidak lagi menggunakan nalarnya. Matinya nalar itu pada akhirnya akan menyeret mahasiswa ke dalam jurang ketersesatan kemudian universitas atau perguruan tinggi hanya akan menghasilkan calon tenaga kerja dengan kualitas rendah bahkan kemungkinan “sukses” menjadi pengangguran.

Organisasi dan diskusi adalah salah dua jembatan bagi para mahasiswa untuk menyeberangi lautan “logical fallacy” Agar penalaran mahasiswa kembali digunakan seperti seharusnya, bukannya untuk memikirkan hari ini pakai outfit nyentrik apa dan jalan dengan wanita/pria yang mana.

Api organisatoris dalam mahasiswa kian hari kian meredup, jumlah mahasiswa yang disibukkan dengan buku kian hari kian berkurang, tidak dengan jumlah mahasiswa yang disibukkan dengan gawai malah semakin menggunung. Bisa kita lihat disekeliling kampus kita, lingkaran-lingkaran diskusi yang berisikan pemuda yang diberi stereotip “Mahasiswa” Bisa dihitung dengan jari yang ada di satu tangan, perpustakaan dan buku-bukunya yang berdebu menjadi saksi minimnya minat baca mahasiswa saat ini, Bagaimana tidak? Ia kini hanya digunakan sebagai sarana mahasiswa untuk bergosip ria. Mahasiswa lebih memilih berjalan-jalan dan berbelanja setiap usai kuliah. Gaya hidup flamboyan kini sebagai arus utama kehidupan mahasiswa. Akibatnya mahasiswa gagap menghadapi isu sosial terutama menyangkut kebijakan pemerintah, tingkat kritis para pun mahasiswa melemah tergerus ketidaktahuan.

Kebanyakan mahasiswa kini lebih doyan klitoris ketimbang menjadi organisatoris, lebih doyan memutar gelas ketimbang berdebat dalam kelas, lebih suka mengurung diri di indekos daripada belajar tentang jiwa yang etos. Ia yang aktif berdiskusi dikelas malah dibenci oleh teman sekelasnya sendiri, ia yang aktif menjawab pertanyaan dosen malah dihina dengan sebutan “caper”, ia yang berpikir kritis malah dianggap bengis. Organisasi di maki, diskusi di benci.

Kemana Agent of Change? Kemana Guardian of Value? Kemana Iron Stock? Kemana Social Controler?

Olehnya, sudah menjadi kewajiban kita untuk mengembalikan mahasiswa kembali ke arahnya. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membaca dan memahami buku, buku apapun itu, saya sangat percaya bahwa tidak ada buku yang berbahaya tetapi, yang berbahaya adalah tidak membaca buku. Sudah menjadi kewajiban kita untuk kembali memasifkan diskusi, diskusi apapun itu, saya sangat percaya bahwa tidak ada diskusi yang berbahaya tetapi, yang berbahaya adalah tidak berdiskusi. Mahasiswa adalah manusia yang sudah dewasa dan bisa memfilterisasi yang baik dan yang buruk, maka selama kegiatan yang kau lakukan bernilai positif, lakukanlah.

Previous articleHMJ IAT Gelar Malam Puncak Perayaan Hari Lahir Jurusan ke-9 Tahun
Next articleHMPS PBS Gelar Kegiatan Islamic Banking Fair Nasional

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here