Nama : Muhammad Nur Hidayat Malontu
Jurusan : Pendidikan Bahasa Arab
Semester : 2
Tepat setelah lampu taman di padamkan, seorang pria menemui wanita yang ia idamkan. Taman Nasional Kota menjadi saksi bisu saat Janu, lelaki kumal berambut panjang, berkaos putih, dan bercelana cargo yang sedang memegang pesawat kertas berpura-pura menabrak seorang wanita ‘short hair’ yang membawa tumpukan buku yang sepertinya sedang dalam perjalanan menuju kampus dan sedang berjalan didekat lampu taman.
“Maaf, saya tidak sengaja,” ucap Janu dalam aksinya berpura-pura menabrak sang wanita sembari mengambil buku yang terhampar di rumput taman.
“Maaf juga kak, aku kurang fokus jalan,” balas maafnya dengan rasa bersalah karena kepalanya yang sedang tidak fokus karena banyaknya tugas yang belum ia selesaikan.
Janu tenggelam dalam tatapan pertama mereka, entah karena lesung pipi sang wanita yang dalam dan menarik seperti palung mariana yang penuh misteri akan keindahannya atau karena rambut hitamnya yang terurai bagai Kincir Angin Belanda yang berputar untuk menghidupi penduduk desa, sang wanita berhasil membuat semesta Janu terhenti, Janu jatuh hati.
“Sekali lagi maaf, kak. oh, ya. Nama saya Janu,” ucapnya sembari ia memberi buku yang telah ia kumpulkan.
“Iya, kak. Gapapa, aku Rania,” balasnya dengan senyum misterius yang membuat Janu kembali tenggelam dalam samudera perasaan.
Rania yang sedang menuju ke kampus ditawarkan tumpangan oleh Janu dengan motor matic nya yang sudah harus ‘diengkol’ agar bisa menyala. Dijalan menuju kampus banyak pertanyaan yang saling terlontarkan; tinggal dimana, hobi apa. Hingga mereka tiba didepan kampus dan tak lupa Janu memanfaatkan kesempatan dengan meminta kontak Rania. Dengan senang hati Rania memberikannya, sepertinya ia juga jatuh hati.
“Nih, buat kamu,” ucapnya sembari memberi Rania pesawat kertas yang dibawanya.
“Buat apa?” Tanya Rania dengan raut wajah kebingungan.
“Yah, buat kamu. Mungkin saja ini bisa buat kita terbang bersama,” rayunya sambil mengusap rambut panjangnya
“Yee. gombal,” balasnya sembari mengambil pesawat kertas itu dengan pipi yang memerah.
Rania pamit, masuk menuju gerbang kampus.
Malam-malam mereka berlalu, gombalan dan rayuan tersebar di aplikasi pesan mereka. Setelah lama melalui fase pendekatan, di taman tempat mereka bertemu, Janu menyatakan cintanya.
“Nia, tau tidak? banyak tuduhan diluar sana yang menuding kita berdua pacaran?” Ucap Janu dengan jantung yang mulai melaju bagai pesawat tempur.
“Hmmm, iya, teman-temanku juga banyak yang ngira gitu,” jawabnya.
“Saya ingin menjadikan itu sebuah fakta, bukan lagi tuduhan. Kamu mau?” Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar, menunggu jawaban Rania.
“Maaf, yah. Jan, aku gak bisa, ” jawab Rania singkat.
Bibir Janu yang sedang melengkung tetiba menjadi lurus.
“Gak bisa nolak,” sambung Rania dengan senyum manisnya yang seperti mangga yang sedang ranum.
Semua masalah dan pikiran mereka seketika cair dan tenggelam dalam pelukan pertama yang mereka lakukan setelah beberapa bulan berkenalan.
Hubungan sepasang kekasih telah berjalan selama lebih kurang 3 tahun. Di tahun ke-4 mereka memutuskan untuk mengikat janji, menebar undangan, membeli cincin, dan bersanding bahagia sampai salah satu dari mereka mati.
4 bulan setelah pernikahan Janu dan Rania, mereka menerima kabar baik. Kini seorang pahlawan kecil sedang menyiapkan diri untuk menghadapi kejamnya dunia di dalam rahim Rania sembilan bulan lamanya. Disaat yang bersamaan juga mereka harus menerima kabar buruk, Janu di-PHK dari tempatnya bekerja, untuk kesekian kalinya.
Janu mencoba melampiaskan segala kesal dan gagalnya pada arak manado yang biasa disebut “Cap Tikus”. Botol demi botol ia putar bersama kawan-kawannya. Janu benar-benar terpuruk.
Sesampainya dirumah, entah mengapa segala kesalnya masih saja belum habis, dengan keadaan setengah sadar ia memukul Rania yang sedang mengandung anak mereka. Rania dengan rasa takut yang begitu besar, bersembunyi dan mengurung diri dalam kamar, lalu Janu tertidur pulas diatas kursi tamu mereka.
Waktu kian berlalu, mabuk telah menjadi ‘Habit’ baru Janu. Metamfetamin kini telah menjadi makan malam favoritnya, hidupnya hancur ia benar-benar berubah. Rania yang sedang mengandung benar-benar tak bisa menahan sedihnya melihat keadaan kekasihnya kini.
21 Oktober 1970. Janu bernasib naas, ia tertangkap karena membuat cek palsu dan dijatuhi hukuman 3 tahun penjara oleh Pengadilan.
Arsi, seorang pahlawan kecil yang namanya berasal dari doa ibunya agar ia menjadi seorang yang cerdik harus menyaksikan dunia untuk pertama kalinya tanpa seorang Ayah.
Menjelang akhir masa tahanannya Janu diselimuti akan rasa rindu pada istri dan rumahnya.
“Pak sipir, saya pinjam pena sama minta selembar kertas, boleh?” Janu memanggil pak sipir dengan spontan.
Perlahan ia menuangkan penyesalannya dalam secarik surat yang sedang ia tulis dengan tangan kinannya.
” Kotakita, Oktober 1973
Rania
Jalan Angsana Raya,
Kotakita.
Rania sayang, apa kabar? Semoga tuhan selalu menjadikan kebaikan sebagai pendampingmu. Kabar Arsi bagaimana? Maaf, saya tidak bisa membelikan susu dan makanan untuk anak kita.
Suratku kali ini singkat, sayang. Namun tidak dengan penyesalanmenyatakannya saya yang begitu besarnya.
12 November nanti akan menjadi hari dimana saya bisa kembali melihat dunia, sayang.
Rania sayang, kamu tidak perlu menunggu saya, namun jika kamu masih memiliki perasaan kepada saya, maukah kamu menyatakannya? Jika kamu masih ingin saya kembali padamu, tolong gantung satu pesawat kertas di lampu taman tempat pertama kali kita bersua di tanggal 12 November nanti.
Apabila saya tidak menemukan pesawat kertas disana, maka tidak mengapa. Saya akan memulai hidup sebagai manusia yang baru, berpindah dari Kota kita dan saya juga tidak akan menggangu kamu dan Arsi.
Maafkan penyesalanku datang di akhir, maafkan semua kesalahanku, Rania.
Salam maaf,
Janu. “
Lalu Janu melipat surat itu untuk dititipkan kepada pak sipir dan dikirimkan kepada kekasihnya.
Tepat setelah pak sipir menerima surat itu, Janu memutuskan untuk melaksanakan perintah ibunya yang sudah lama tak Ia kerjakan, Sholat. Semua penyesalannya dan permintaanya ia ungkapkan saat ia menengadahkan tangan untuk sang Maha.
Hari pembebasan tiba, dan tidak satupun surat balasan datang dari istrinya, bahkan ia tidak tahu apakah istrinya menerima surat itu ataukah tidak.
Rasa gelisah menyelimutinya, apakah Rania mau memaafkannya? Apakah ia bisa melihat wajah Arsi untuk pertama kalinya?
Segera ia beranjak ke taman tempat kali pertama mereka bersua, akhirnya ia melihat Lampu taman itu, air matanya menetes. Janu tidak melihat satu pesawat kertas disana. Tidak ada satu pesawat kertas, melainkan ratusan pesawat kertas bergantungan di beberapa lampu taman.
Dalam sedu tangisnya, pelukan hangat datang kepada punggungnya. Ia mendengar suara malaikat kecil.
“Ayahhhh,” teriak Arsi dengan riang sebab bertemu ayahnya untuk pertama kalinya.
Janu mengangkat Arsi dan menggendongnya, Rania tersenyum berdiri tepat didepannya.
Keluarga kecil menuangkan sangat banyak air mata dan memulai kembali dari awal yang baru.