Nama: Mariana
Jurusan: Informatika
Semester: I
Ayana adalah anak perempuan pertama dalam keluarganya, seorang kakak dari dua adik laki-laki. Hidupnya tidaklah mudah. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan anak-anak seusianya. Ayahnya bekerja di kota sebagai buruh harian, dan ibunya, seorang perempuan yang lembut namun sering sakit-sakitan, bekerja dari rumah untuk menjaga anak-anaknya. Dalam situasi yang serba terbatas ini, Ayana tumbuh dengan tekad dan keteguhan hati yang luar biasa.
Pagi itu, ketika matahari baru saja terbit, Ayana sudah terjaga. Ia bergegas menuju sumur tua di ujung desa, membawa dua ember besar untuk mengisi air. Setiap langkahnya di jalan setapak yang berbatu terasa berat, namun Ayana terus melangkah tanpa keluhan. Anak-anak lain masih tidur di rumah mereka, namun Ayana sudah mulai menjalani tugas paginya. Dia tahu, sebelum sekolah dimulai, ia harus memastikan keluarganya punya cukup air untuk keperluan sehari-hari.
Ketika Ayana kembali ke rumah, ibunya tersenyum dan membelai rambutnya dengan lembut. “Ayana, kamu sudah bekerja keras sekali,” kata ibunya. “Tak usah terlalu terburu-buru, sayang. Kamu masih muda, kamu bisa bermain seperti anak-anak lain.” Namun Ayana hanya tersenyum, “Aku ingin membantu, Bu. Ayah jauh di kota, dan Ibu sudah cukup banyak bekerja. Aku ingin jadi kakak yang bisa diandalkan.”
Di sekolah, Ayana dikenal sebagai anak yang cerdas dan bersemangat. Ia sering menjadi murid terbaik di kelasnya, meski waktunya terbagi antara belajar dan membantu keluarganya. Setiap kali teman-temannya sibuk bercerita tentang permainan dan perjalanan liburan, Ayana hanya mendengarkan dengan senyum kecil. Ia tahu, meski ia tidak punya waktu luang yang sama, ia memiliki impian yang sangat berharga di dalam hatinya ia ingin menjadi seorang guru. Ayana ingin membantu anak-anak di desanya, memberikan mereka pendidikan dan harapan.
Namun, jalan menuju impiannya tidaklah mudah. Suatu hari, ibunya jatuh sakit parah. Ayana menjadi satu-satunya yang mengurus semua kebutuhan rumah. Ia belajar memasak, merawat adik-adiknya, dan memastikan ibunya merasa nyaman di tempat tidurnya. Setiap malam, saat orang-orang sudah terlelap, Ayana duduk di samping ibunya, menggenggam tangan lembut itu sambil berdoa dalam hati. “Ibu harus kuat, ya. Aku akan tetap di sini,” bisiknya pelan.
Tahun demi tahun berlalu. Ayana tetap menjadi pilar dalam keluarganya, tapi ia tak pernah melepaskan mimpinya. Ketika ia duduk di bangku sekolah menengah, ia mulai mengikuti perlombaan menulis di sekolah dan memenangi beberapa penghargaan. Gurunya, Bu Intan, melihat ketekunan Ayana dan merasa terinspirasi. Suatu hari, ia memanggil Ayana ke ruang guru.
“Ayana, kamu memiliki bakat yang luar biasa,” kata Bu Intan dengan senyum lembut. “Kenapa tidak mencoba mengajukan beasiswa untuk melanjutkan sekolahmu di kota?”
Mata Ayana berbinar, tapi ia juga merasa ragu. “Tapi, Bu, jika saya pergi, siapa yang akan membantu Ibu dan adik-adik saya?” tanya Ayana dengan nada bimbang.
Bu Intan meletakkan tangannya di pundak Ayana dan menatapnya dengan penuh kebanggaan. “Kamu adalah anak yang kuat, Ayana. Aku yakin keluargamu akan mengerti jika itu demi masa depanmu. Ketahuilah, kadang keberanian terbesar adalah berani melangkah meski terasa berat.”
Dengan dukungan gurunya, Ayana memberanikan diri untuk mencoba. Ia mengikuti serangkaian tes beasiswa dengan penuh tekad, mengerahkan semua usaha yang dimilikinya. Bulan demi bulan ia menunggu dengan sabar, hingga suatu pagi, sebuah surat datang ke rumahnya. Ayana membuka surat itu dengan tangan gemetar, dan ketika membaca isi suratnya, ia terdiam. Ia diterima. Beasiswa untuk melanjutkan sekolah di kota kini ada dalam genggamannya.
Namun, Ayana masih dihadapkan pada pilihan yang sulit. Ketika ia mengabarkan berita itu kepada ibunya, mata ibunya berkaca-kaca. “Ayana, kamu pantas mendapatkan ini,” kata ibunya sambil menggenggam tangannya. “Jangan khawatirkan kami. Kamu sudah memberikan begitu banyak selama ini. Sekarang saatnya kamu mengejar mimpimu.”
Dengan perasaan berat namun penuh tekad, Ayana akhirnya pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikannya. Tahun-tahun berlalu, dan Ayana tumbuh menjadi sosok yang semakin kuat dan bersemangat. Ia terus belajar, mengembangkan dirinya, dan tak pernah melupakan mimpinya untuk kembali ke desa dan menjadi guru.
Ketika akhirnya ia lulus, Ayana pulang ke desanya dengan membawa lebih dari sekadar ijazah ia membawa pengetahuan, pengalaman, dan harapan untuk masa depan. Ia memutuskan untuk membangun sebuah kelas kecil di desanya, mengajar anak-anak agar mereka bisa melihat dunia yang lebih luas, sebagaimana ia dulu berusaha mengejar mimpinya.
Di hari pertama Ayana mengajar, ia menatap wajah-wajah polos di hadapannya, wajah-wajah penuh rasa ingin tahu dan antusias. Ayana tersenyum, dan dengan suara lembut namun penuh semangat, ia berkata, “Kalian adalah masa depan. Kalian kuat, dan jangan pernah menyerah untuk menggapai mimpi.”
Di desa kecil itu, Ayana bukan lagi hanya seorang anak perempuan pertama yang tangguh. Ia adalah inspirasi, sosok yang menunjukkan bahwa keteguhan hati mampu mengubah kehidupan, dan bahwa seorang anak perempuan yang kuat bisa menjadi cahaya bagi banyak orang.
Kerennn nana❤️✨ lanjutkan terus menulisnyaa, sangat kudukungg🤍🤍🤍