Nama: Fitriani Ramadani Pakaya
Jurusan: Ekonomi Syariah
Semester: I
Pagi itu, hujan turun dengan lembut, membasahi trotoar kota yang sibuk. Cinta, bagi Dinda, selalu datang dengan cara yang tak terduga. Seperti kali ini, ketika ia berteduh di bawah atap sebuah kedai kopi kecil, menunggu hujan reda.
Dinda bukan tipe yang percaya pada kisah-kisah romantis yang penuh kebetulan. Namun, hari itu, di kedai kopi yang nyaman itu, ia bertemu dengan seseorang yang mengubah pandangannya. Seorang pria muda, dengan jaket biru dan rambut basah, masuk ke dalam kedai sambil tersenyum malu. Ia memandang sekeliling, mencari tempat duduk.
Dinda, yang kebetulan duduk sendirian di meja dekat jendela, melihat pria itu sejenak. Ada sesuatu yang familiar, namun ia tidak bisa mengingat dari mana. Mereka bertatapan sebentar sebelum pria itu tersenyum, lalu berjalan mendekat.
“Maaf, apakah kursi di sini masih kosong?” tanya pria itu, suaranya lembut meskipun sedikit terkejut oleh hujan yang deras.
Dinda mengangguk. “Tentu, silakan duduk.”
Pria itu duduk di seberang meja Dinda. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati suara hujan yang menenangkan. Lalu, pria itu membuka percakapan.
“Aku Lukas,” katanya, memberikan senyuman yang tulus.
“Dinda,” jawabnya singkat, mencoba menjaga jarak.
Percakapan kecil pun dimulai, tentang hujan yang tak kunjung reda, tentang buku yang mereka baca, dan tentang kenangan masa lalu yang perlahan terungkap. Ternyata, Lukas adalah teman lama Dinda, seseorang yang pernah dikenalnya di sekolah dulu, meski mereka tidak begitu dekat. Mereka berbicara dengan santai, tanpa beban.
Seiring berjalannya waktu, Dinda merasa nyaman. Lukas tidak seperti pria lainnya yang sering ia temui, dia tidak tergesa-gesa, tidak penuh dengan kata-kata manis yang mengganggu. Ada kedamaian yang datang dengan setiap kalimat yang keluar dari mulut Lukas. Dinda merasa seolah-olah mereka telah lama saling mengenal, meskipun baru bertemu lagi setelah bertahun-tahun.
Hujan mulai reda, tetapi mereka masih duduk di sana, berbincang tentang berbagai hal yang tak pernah mereka bicarakan sebelumnya. Lukas mengatakan bahwa ia baru saja kembali ke kota setelah bekerja di luar negeri, dan Dinda merasa seperti ada bagian dari dirinya yang terhubung kembali dengan orang yang selama ini ia lupakan.
“Kadang, kita tak pernah tahu betapa berharganya seseorang sampai waktu memisahkan kita,” kata Dinda, tanpa sadar mengungkapkan perasaan yang sudah lama terpendam.
Lukas tersenyum, matanya sedikit bersinar. “Aku rasa, aku tahu apa yang kamu maksud. Terkadang, sebuah pertemuan adalah sebuah kebetulan yang ditunggu-tunggu.”
Saat kedai kopi mulai sepi, mereka berdua merasa tidak ingin berpisah. Seakan-akan, mereka baru saja menemukan kembali sesuatu yang hilang. Lukas mengajaknya untuk berjalan bersamanya di sepanjang jalan, di bawah langit yang kini cerah.
Di bawah cahaya matahari yang lembut, Dinda dan Lukas berjalan berdampingan, menikmati momen kecil yang mereka bagi, di jalan yang sama, menuju arah yang sama. Di saat itu, Dinda menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang momen yang spektakuler, tetapi juga tentang kebersamaan dalam kesederhanaan, di tengah hujan yang reda.