Nama: Luthfia Rahmadani
Jurusan: Pendidikan Agama Islam
semester: I
Di antara rak-rak tinggi yang penuh sesak dengan buku-buku tua di Perpustakaan Nasional, Aretha, seorang penulis muda dengan rambut panjang yang terurai dan mata hitam pekat yang tajam, sedang mencari inspirasi untuk novel pertamanya. Ia tersandung sebuah buku tua, sampulnya usang dan judulnya tak terlihat, kulitnya terasa seperti beludru yang sudah memudar. Saat ia mencoba mengangkatnya, Iel, seorang arsiparis dengan jari-jari yang panjang dan ramping, mendekat dan membantunya. Ini bukan pertemuan pertama mereka; Iel sudah lama mengamati Aretha dari kejauhan, menyimpan rasa yang dalam di hatinya rasa yang sama sekali baru baginya.
“Buku itu cukup rapuh,” kata Iel, mengambil buku itu dengan hati-hati, suaranya sedikit gemetar. Aroma debu buku tua memenuhi udara. “Koleksi langka. Judulnya sudah hilang, tapi isinya… menarik.” Pipinya sedikit memerah, dan ia mengusap telapak tangannya ke celananya, sebuah kebiasaan yang Aretha perhatikan baru muncul belakangan ini. Ini adalah pengalaman yang sama sekali baru baginya; sebelumnya, Iel selalu fokus pada pekerjaannya dan buku-buku kuno, tanpa pernah merasakan getaran emosional yang begitu kuat.
Iel, yang memiliki pengetahuan luas tentang sejarah dan buku kuno, menjelaskan bahwa buku itu berisi kumpulan puisi cinta dari berbagai abad. Aretha terpesona. Mereka duduk di meja baca yang tua dan lapuk, cahaya matahari sore menerobos jendela tinggi, membentuk debu yang berputar-putar di udara. Ia membaca puisi-puisi itu bersama Iel, masing-masing puisi menceritakan kisah cinta yang berbeda, dari cinta yang penuh gairah hingga cinta yang penuh keraguan. Untuk Iel, setiap puisi adalah metafora dari perasaannya sendiri terhadap Aretha—perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, yang membuatnya canggung dan sedikit kikuk dalam mengekspresikannya. Ia seringkali salah menempatkan kata-kata, terbata-bata, dan matanya selalu mencari tatapan Aretha.
Mereka mulai bertemu secara teratur di perpustakaan, membaca dan membahas puisi-puisi itu bersama. Namun, bagi Iel, pertemuan-pertemuan itu adalah kesempatan untuk lebih dekat dengan Aretha, untuk merasakan kehadirannya, meski ia masih belum berani mengungkapkan perasaannya. Ia takut ditolak, takut merusak persahabatan mereka yang baru terjalin, dan terutama, takut karena ia sendiri belum pernah merasakan cinta sebelumnya, membuatnya tak yakin bagaimana cara mengekspresikannya dengan tepat.
Aretha, yang cerdas dan peka, mulai menyadari ketertarikan Iel. Ia melihat dalam tatapan Iel kehangatan dan keraguan yang bercampur aduk. Ia juga mulai merasakan ketertarikan pada Iel, ketertarikan yang tumbuh perlahan, seperti tinta yang meresap ke dalam kertas. Namun, Aretha juga mengamati bagaimana Iel berinteraksi dengan wanita lain di perpustakaan. Suatu hari, ia melihat Iel membantu seorang wanita muda mencari buku, senyumnya ramah dan sopan, ia menjelaskan judul buku dengan sabar, namun Aretha melihat bahwa interaksi tersebut terasa ringan dan tanpa kedalaman emosional. Lain waktu, ia melihat Iel berbincang dengan seorang pustakawan senior, percakapan mereka lebih formal dan profesional, tanpa ada sentuhan personal yang terlihat.
Konflik muncul dari kesalahpahaman ini, diperparah oleh ketidakmampuan Iel untuk mengekspresikan perasaannya dengan tepat karena ini adalah pengalaman pertamanya jatuh cinta. Suatu sore, saat mereka membahas sebuah puisi cinta yang sangat romantis, Aretha tiba-tiba bertanya, “Iel, kamu selalu sangat ramah kepada semua orang. Apakah perasaanmu padaku sama seperti perasaanmu kepada wanita lain di perpustakaan ini?” Pertanyaan itu membuat Iel terdiam, matanya melebar, ia kehilangan kata-kata. Keheningan itu lebih menyakitkan daripada sebuah penolakan.
Aretha merasa bahwa ketertarikan Iel padanya hanyalah sebagian kecil dari perhatiannya yang terbagi rata kepada banyak wanita. Ia merasa bahwa Iel tidak benar-benar serius dan hanya bersikap ramah kepada semua orang. Ketidakpercayaan ini membuat Aretha ragu untuk membalas perasaan Iel, meskipun ia juga menyimpan perasaan yang sama. Iel, yang sebenarnya hanya menaruh hati pada Aretha, dan yang baru pertama kali merasakan cinta, harus membuktikan ketulusan perasaannya dan meyakinkan Aretha bahwa di antara semua wanita, hanya Aretha yang ada di hatinya—sebuah perasaan yang sama sekali baru dan belum terlatih baginya. Ia harus menemukan cara untuk mengekspresikan perasaan yang begitu baru dan rumit ini, sebelum kesalahpahaman ini menghancurkan kesempatan mereka. Di antara rak-rak buku tua yang menyimpan ribuan cerita cinta, Iel dan Aretha harus menulis kisah cinta mereka sendiri, sebuah kisah yang akan menentukan apakah komunikasi yang jujur dan bukti nyata dapat mengatasi kesalahpahaman, memenangkan hati yang ragu lalu apakah cinta yang terpendam selama ini akan akhirnya bersemi.