Home CERPEN Ketenangan yang Kembali Terusik

Ketenangan yang Kembali Terusik

40
0

Nama : Zanira Nur Aviva
Jurusan: Ekonomi Syariah
Semester: I

Hidupku baru saja menemukan ritme yang menenangkan. Setelah bertahun-tahun dilanda kekacauan, akhirnya aku merasakan hari-hari yang berjalan tanpa beban. Setiap pagi, secangkir kopi hangat dan pandangan ke jendela yang menghadap taman menjadi rutinitas sederhana yang amat berharga. Aku duduk di kursi rotan tua, memandangi langit yang perlahan berwarna jingga, membiarkan pikiran melayang bebas tanpa dikejar oleh rasa cemas.

Namun, semua itu berubah ketika pesan itu datang.

“Muthia, aku butuh bantuanmu.” Sederhana, tapi kalimat itu terus menggema di kepalaku. Pesan dari ibuku, wanita yang selama ini menjagaku dengan segalanya yang ia punya. Kami memang tidak sering bertukar pesan seperti dulu—setelah aku mulai sibuk dengan hidup sendiri, keheningan di antara kami adalah hal biasa.

Sejujurnya, aku ingin sekali mengabaikan pesan itu. Namun, aku tahu betul, ibuku bukan tipe orang yang sembarangan meminta pertolongan. Apalagi meminta bantuanku, yang sering kali mengecewakannya dengan keputusan-keputusan impulsif. Rasa penasaran muncul, menggoyahkan ketenangan yang selama ini kubangun. Akhirnya kubalas pesannya dan mengajaknya bertemu di kafe kecil di dekat rumahnya, tempat yang menyimpan banyak kenangan kami.

Di kafe itu, aku melihat ibu duduk di sudut, menatap jendela dengan pandangan yang jauh. Wajahnya masih sama, namun kali ini ia tampak lebih lelah. Setelah basa-basi sejenak, ibu mulai bercerita dengan suara pelan—tentang masalah kesehatan yang kian memburuk, tentang kecemasannya menghadapi usia, dan perasaan takut yang terus mengusik pikirannya.

Aku terdiam, mendengarkannya dengan saksama. Bagaimana mungkin ibu merasa seperti ini, sementara selama ini ia terlihat kuat? Ada nada rapuh dalam suaranya, seperti kepercayaan yang ia gantungkan padaku. Saat itu, aku tahu kehadiranku lebih dari sekadar pendengar; aku adalah tempat ibu menggantungkan kekuatan yang selama ini sulit ia tunjukkan.

Berusaha menenangkannya, aku berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dalam hati, aku merasa ada kepingan ketenanganku yang mulai bergeser. Semakin lama mendengarnya, semakin aku teringat pada masa-masa sulit yang dulu kulalui bersama ibu. Kenangan-kenangan itu, yang selama ini kusembunyikan, mulai menguak kembali. Bayang-bayang ketakutan dan rasa bersalah yang dulu perlahan menyeruak, mengusik kedamaian yang telah susah payah kubangun.

Saat berpisah, ibu memelukku dengan erat. Di wajahnya tersirat kelegaan yang tak mampu ia sembunyikan. Namun aku? Sejak pertemuan itu, ketenangan yang kumiliki terasa berbeda. Ada sesuatu yang kini menghuni pikiranku seperti perasaan takut dan cemas yang tak dapat kuabaikan.

Keesokan harinya, aku duduk lagi di kursi rotan tua dengan secangkir kopi yang sama. Tapi kali ini, aroma kopi tak lagi menenangkan. Pandanganku ke luar jendela terasa hampa. Aku mulai bertanya-tanya, apakah mungkin menemukan kembali ketenangan setelah ia terusik? Atau, mungkin ini hanya bagian dari perjalanan untuk memahami lebih dalam arti dari semua yang telah terjadi.

Dan dalam kesunyian itu, aku tahu jawabannya hanya bisa kutemukan dalam diriku sendiri.

Previous articleKehilangan Nikmat Rasa Syukur
Next articleLangkah yang Tersesat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here