Nama: Suci Ramadhani
Jurusan: Informatika
Semester: I
Di sebuah kota kecil yang sepi, ada seorang perempuan bernama Amira. Ia tak pernah merasa benar-benar memiliki tempat yang bisa disebut “rumah.” Sejak kecil, Amira terbiasa hidup di tengah pertengkaran. Dinding rumah yang seharusnya hangat justru penuh dengan suara marah dan dinginnya tatapan. Orang tuanya, sibuk dengan konflik yang entah kapan berakhir, membuat Amira tumbuh seperti asing di tengah keluarganya sendiri.
Ketika akhirnya perceraian itu benar-benar terjadi, Amira merasa seakan terhempas ke dunia lain yang lebih dingin. Rumah mereka tak lagi menjadi miliknya. Ibunya memilih pindah ke kota lain, dan ayahnya tenggelam dalam pekerjaan, menghindari segala yang mengingatkannya pada rumah yang dulu ada. Amira, kini beranjak dewasa, harus mencari sendiri arahnya di kehidupan ini.
Awalnya, ia berpikir kebebasan ini adalah anugerah—bebas tanpa aturan rumah yang penuh konflik. Namun seiring waktu, kebebasan itu berubah menjadi kehampaan yang menyesakkan. Setiap kali ia mencoba menemukan jalan hidupnya, ia selalu merasa tertarik kembali ke kenangan-kenangan yang membebaninya.
Suatu malam, Amira berjalan sendirian di tepi sungai kota, merenungi hidupnya. Gemerlap lampu di kejauhan seakan memanggil, memberi janji tentang kehidupan yang lebih baik, tapi Amira tak tahu bagaimana mencapainya. Semua terasa gelap dan tanpa arah. Di balik wajahnya yang kuat, sebenarnya ia rapuh, penuh luka yang tak terlihat.
“Kenapa hidup terasa seperti ini?” gumamnya.
Seakan menjawab gumaman hatinya, seorang perempuan tua yang duduk di bangku taman tak jauh darinya menyapa, “Nak, kau terlihat sedang memikul dunia di bahumu.”
Amira menoleh, ragu-ragu. “Saya hanya… kehilangan arah, Bu.”
Perempuan tua itu tersenyum lembut, seakan memahami sepenuhnya perasaan Amira. “Kadang, kehilangan arah adalah bagian dari perjalanan. Hidup memang seringkali tak memberi kita peta yang jelas.”
Amira terdiam, tak menyangka ada seseorang yang bisa memahami apa yang ia rasakan.
“Kita semua tersesat pada masanya,” lanjut perempuan tua itu. “Yang penting adalah tetap melangkah. Temukan alasan kecil untuk berjalan setiap hari, meski kau merasa tak punya tujuan.”
Kata-kata itu menancap dalam hati Amira. Ia merasa ada secercah harapan, meski samar. Malam itu, ia pulang dengan perasaan sedikit lebih ringan.
Hari-hari berikutnya, Amira mulai mencoba hal-hal kecil yang membuatnya merasa hidup—mencoba hobi baru, berbicara dengan teman-teman lama, atau sekadar menulis di buku hariannya. Ia tahu luka masa lalunya tak akan hilang begitu saja, namun ia mulai menerima bahwa luka-luka itu adalah bagian dari hidupnya, bukan penentu masa depannya.
Dan di suatu senja yang tenang, saat ia kembali berjalan di tepi sungai yang sama, Amira menyadari sesuatu. Ia mungkin belum sepenuhnya menemukan arah hidupnya, namun ia tak lagi merasa hampa. Ternyata, langkah kecil yang ia ambil setiap hari telah membawanya ke tempat yang lebih damai—tempat di mana ia tak lagi merasa tersesat sepenuhnya.
Amira kini tahu, menemukan arah bukan berarti tahu ke mana tujuan akhirnya. Terkadang, itu hanya berarti berani melangkah, meski di tengah kegelapan.