Nama: Nisa Nurhidaya
Jurusan: Akuntansi Syariah
Semester: I
Saat matahari mulai terbenam di desa yang ramai, Alena yang berusia 13 tahun dan sahabatnya, Sarah, berdiri dengan gugup di luar gerbang Pondok Al-Itthad, sebuah pesantren di sebuah desa kecil. Mereka telah mempersiapkan momen ini selama berbulan-bulan, dan akhirnya mereka akan mengambil langkah pertama untuk menjadi santri.
Orang tua Alena selalu mendukung pendidikan Islamnya, dan dia sudah lama menantikan hari ini. Sarah, sebaliknya, sedikit ragu. Dia belum pernah jauh dari keluarganya selama ini, dan dia khawatir akan meninggalkan adik-adiknya.
Saat mereka memasuki Area Pondok, Alena merasakan kegembiraan dan kegugupan. Dia telah mendengar begitu banyak cerita tentang kehidupan pondok dari kakak sepupu dan teman-temannya, dan dia sangat ingin mengalaminya sendiri.
Namun Sarah tampak lebih cemas dibandingkan bersemangat. Dia terus melirik ke belakang ke arah gerbang, seolah berharap untuk berbalik dan pulang.
“Ayo Sarah,” Alena menyemangatinya. “Kita akan membuat beberapa kenangan yang luar biasa di sini. Dan siapa tahu, kita malah bisa dekat dengan santri yang lain.”
Sarah memaksakan senyum dan mengangguk. “Ya, kamu benar,” katanya. “Mari kita lakukan.”
Saat mereka berjalan melewati halaman, mereka disambut oleh para walimu (pembina pondok) yang tampak galak, sibuk mengawasi santri lainnya saat mereka bersiap untuk salat magrib.
Kedua sahabat itu segera diantar ke asrama baru mereka, di mana mereka diperkenalkan dengan sesama santri. Ada anak perempuan dari seluruh penjuru negeri, masing-masing dengan cerita dan pengalaman uniknya sendiri.
Alena sangat senang melihat ada anak perempuan lain dari kotanya juga, dan mereka dengan cepat menjalin ikatan satu sama lain. Sebaliknya, Sarah membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan pengenalan di lingkungan baru.
Saat malam tiba, para santriwati berkumpul di masjid untuk shalat tarawih berjamaah yang pertama. Alena merasakan rasa damai menyelimuti dirinya saat ia membaca Al-Quran bersama teman-teman barunya.
Usai salat, mereka disuguhi santapan yang sederhana berupa nasi dan ikan palumara yang disantap dengan air putih.
Saat mereka duduk mengelilingi meja sambil ngobrol dan tertawa bersama, Alena menoleh ke arah Sarah sambil tersenyum. “Kau tahu, menurutku kita akan baik-baik saja di sini,” katanya.
Sarah mengangguk setuju. “Ya, menurutku kamu benar,” katanya. “Kami akan membuat beberapa kenangan indah di sini.”
Bersamaan dengan itu, kedua sahabat itu saling mendentingkan gelas air putih mereka untuk bersulang atas kehidupan baru mereka di Pondok Al-Ittihad.