Nama: Rifky Ramadhan Sabi
Jurusan: Informatika
Semester: I
Aim adalah orang yang lemah lembut, sosok yang hampir tidak pernah marah. Namun, katanya, jika ia benar-benar marah, itu cukup untuk membuat orang ketakutan. Anehnya, tidak ada yang pernah melihatnya marah—mungkin karena kesabarannya begitu luas.
Di balik sikap ramahnya kepada teman-teman, Aim menyimpan keraguan yang semakin membayangi langkahnya ke masa depan. Apakah semua usahanya akan berbuah manis? Atau, mungkinkah semua yang ia lakukan selama ini tidak cukup?
Aim dikenal sebagai sosok ceria, yang sering kali menjadi alasan tawa teman-temannya. Tapi siapa sangka, di balik itu semua, ia memikul beban berat yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun.
Saat masih kecil, Aim lebih sering menghabiskan waktu dengan neneknya daripada kedua orang tuanya. Ayah dan ibunya bekerja dari siang hingga malam, terkadang bahkan sampai Aim sudah terlelap. Ia merasa waktu yang dihabiskan bersama mereka begitu sedikit. Dalam kesepian itu, Aim tumbuh menjadi anak yang nakal, tetapi rapuh.
Namun, waktu mengubah Aim. Ia mulai belajar mengatasi kelemahannya dan perlahan menjadi sosok yang lebih tangguh. Aim bukan lagi anak yang cengeng seperti dulu. Ia belajar menghadapi hidup dengan keberanian yang baru.
Tapi kini, ada perasaan lain yang menghantui. Aim merasa dirinya berubah menjadi orang yang datar. Ia tidak lagi selucu dulu, tidak lagi menjadi sumber tawa seperti sebelumnya. Apakah ini karena pergaulannya yang berbeda? Atau memang kemampuan Aim untuk menghibur orang lain telah memudar?
Entah apa yang sebenarnya terjadi, Aim hanya berharap satu hal: semoga dirinya terus menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan.