Oleh: Ahmad Fauzan. M
Wartawan LPM Qalamun
Di sebuah kota kecil yang tenang, tinggal seorang pria bernama Arif. Kehidupannya sederhana, bekerja sebagai pegawai di toko buku milik Pak Sigit. Setiap pagi, Arif melangkah pelan, menyapa beberapa tetangga dan memulai hari seperti biasa. Namun, di dalam hatinya ada kekosongan yang selalu terasa setiap kali ia memandang jalan setapak yang mengarah ke rumahnya.
Beberapa tahun yang lalu, Arif pernah memiliki seorang teman dekat, Lila. Mereka tumbuh bersama, berbagi tawa dan cerita. Namun, sesuatu berubah saat Arif dihadapkan pada sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Lila, yang pada waktu itu sudah mencintainya dengan tulus, mengungkapkan perasaan itu, berharap Arif bisa melihatnya lebih dari sekadar teman. Tetapi Arif, yang terjebak dalam rasa takut dan ketidakpastian, memilih untuk menghindar. Ia merasa tidak siap dan merasa bahwa Lila pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik darinya.
Setelah pernyataan Lila, Arif tidak pernah lagi berbicara dengan gadis itu. Bahkan ia menghindari semua hal yang mengingatkannya pada Lila, seperti jalan yang biasa mereka lewati bersama dan taman tempat mereka sering duduk berdua. Lila, yang awalnya penuh harapan, perlahan menghilang dari kehidupannya.
Waktu berlalu dan Arif akhirnya menyadari betapa salah tindakannya. Lila ternyata sudah menikah dengan seorang pria dari kota lain dan mereka jarang berhubungan lagi. Arif hanya bisa menyaksikan kebahagiaan Lila dari jauh, tanpa bisa berbuat apa-apa. Rasa penyesalan itu menghimpitnya setiap kali ia memikirkan betapa bodohnya dirinya ketika itu, bagaimana ia menutup mata terhadap perasaan yang tulus dan memilih pergi begitu saja.
Pernah sekali, di suatu malam yang sepi, Arif menemukan sebuah kartu pos yang pernah dikirimkan Lila kepadanya. Itu adalah kartu pos yang menggambarkan pemandangan laut yang indah, dengan tulisan tangan Lila di belakangnya: “Aku akan menunggumu Arif, sampai kau siap.” Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk, mengingatkannya akan sebuah kesempatan yang sudah hilang.
Kini, saat dia menatap rumah Lila dari kejauhan, Arif hanya bisa menghela napas panjang. Semua kenangan itu terlalu indah dan terlalu berat untuk dilupakan. Ia ingin sekali meminta maaf, tetapi sudah terlambat. Lila telah memiliki kehidupannya sendiri dan Arif hanya bisa menyesali itu tanpa bisa mengubah apapun.
Malam itu, Arif duduk termenung di bangku taman yang dulu sering mereka singgahi. Angin malam berbisik lembut, seolah mengingatkannya bahwa waktu tidak bisa diputar kembali. Ia hanya bisa berharap, jika ada satu hal yang bisa dia ubah dalam hidupnya, itu adalah keputusan untuk tidak pernah meninggalkan Lila begitu saja.
Namun, penyesalan itu kini menjadi bagian dari dirinya, sebuah pelajaran pahit yang akan selalu mengingatkan Arif untuk tidak pernah mengabaikan perasaan orang yang tulus mencintainya.