Home OPINI G30S/PKI dan Luka Bangsa yang Belum Selesai

G30S/PKI dan Luka Bangsa yang Belum Selesai

104
0

Oleh: Abdul Wahid Ansori
Wartawan LPM Qalamun

Peristiwa G30S/PKI pada 1965 adalah salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah Indonesia. Ia bukan sekadar catatan politik, tetapi juga luka sosial yang masih menyisakan kontroversi hingga kini. Ribuan nyawa melayang, jutaan lainnya hidup dalam stigma sebagai “keturunan PKI”, dan bangsa ini dipaksa saling mencurigai sesama.

Sejarah resmi yang diajarkan puluhan tahun menyebut G30S sebagai pemberontakan PKI untuk mengganti ideologi negara dengan komunisme. Namun, sebagian sejarawan mengingatkan bahwa narasi itu tidak sesederhana hitam-putih. Ada dinamika politik, intrik militer, hingga intervensi asing yang turut mewarnai peristiwa tersebut. Sayangnya, ruang diskusi tentang hal ini kerap tertutup, sehingga generasi hari ini mewarisi kisah yang terfragmentasi.

Yang paling menyedihkan adalah bagaimana peristiwa ini dimanfaatkan untuk membungkam suara rakyat selama puluhan tahun. Trauma sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Banyak keluarga tidak pernah tahu alasan ayah, ibu, atau saudaranya dipenjara, dibuang, bahkan hilang begitu saja. Label “eks-tapol” dan “keluarga PKI” membuat mereka terdiskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, hingga kehidupan sosial.

Kini, lebih dari setengah abad berlalu, sudah saatnya bangsa ini berani berdamai dengan sejarah. Bukan dengan menghapus atau melupakan, melainkan dengan menghadapi kebenaran secara jujur. Rekonsiliasi nasional menjadi penting agar luka lama tidak terus diwariskan. Perbedaan ideologi tidak boleh lagi dijadikan alasan untuk membenarkan kekerasan.

G30S/PKI harus menjadi pengingat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menatap sejarahnya secara utuh—tanpa manipulasi, tanpa kebencian. Kita boleh berbeda pendapat tentang detail peristiwa, tetapi yang terpenting adalah sepakat bahwa kekerasan dan pembantaian massal tidak boleh terulang.

Indonesia membutuhkan keberanian moral untuk berkata: sejarah tidak boleh menjadi alat politik. Dengan begitu, generasi penerus bisa belajar bahwa demokrasi, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia adalah fondasi bangsa yang lebih kokoh daripada dendam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here