Oleh: Alia
Wartawan LPM Qalamun
Banjir yang melanda Indonesia saat ini—dari Jakarta hingga Kalimantan, dengan kerugian triliunan rupiah dan ribuan pengungsi—bukan sekadar bencana alam, tapi respons imun tubuh terhadap invasi manusia. Bayangkan bumi sebagai organisme hidup: sungai, hutan, dan laut adalah sistem peredarannya. Ketika kita menebang hutan, membangun beton di atas tanah resapan, dan membuang sampah ke sungai, bumi “demam” dengan banjir sebagai gejalanya. Ini bukan hukuman, tapi sinyal peringatan: “Kembalikan keseimbangan, atau aku akan membasahi semuanya.”
Mengapa ini belum pernah memikirkan orang lain? Kebanyakan gambaran tentang banjir terjebak pada mitigasi teknis—pembangunan tanggul, pompa air, atau relokasi warga—yang bagus tapi reaktif. Tapi mari kita lihat lebih dalam: banjir adalah “sistem imun” yang membersihkan racun manusia. Air membawa lumpur yang menyuburkan tanah, tapi juga membawa polusi yang kita buat. Jika kita belajar dari pohon (seperti dalam opini sebelumnya), banjir bisa menjadi guru: air tahu bagaimana mengalir, menyerap, dan membersihkan. Indonesia, dengan 17.000 pulau dan sungai terpanjang di dunia, bisa menjadi pionir “hidrologi adaptif”—teknologi yang memanfaatkan banjir sebagai sumber energi, bukan musuh.
Contohnya Jakarta: Alih-alih terus membangun tanggul yang mahal dan akhirnya jebol, kita bisa mengembangkan “kota terapung” yang belajar dari banjir. Gunakan sensor AI untuk memprediksi aliran udara, lalu konversi energi kinetik banjir menjadi listrik melalui turbin bawah air. Atau, restorasi hutan bakau sebagai “penyerap banjir alami” yang juga menjadi sumber makanan dan pariwisata. Di daerah pedesaan seperti Jawa Timur atau Sumatera, banjir bisa diubah menjadi lahan pertanian organik, di mana lumpur banjir menjadi pupuk gratis—seperti bagaimana Mesir kuno memanfaatkan Nil.
Ini bukan utopia; ini evolusi. Jika Indonesia gagal, banjir akan semakin ekstrem, seperti yang diprediksi IPCC: kenaikan muka laut 1 meter bisa menenggelamkan jutaan hektar. Tapi jika sukses, kita mengekspor model ini ke dunia—Bangladesh atau Belanda sudah belajar dari kita. Kritikus bilang ini terlalu idealis, tapi bukankah manusia dulunya takut api, lalu menguasainya? Mari jadikan banjir sebagai sekutu, bukan musuh. Mulai dengan pendidikan: ajari anak-anak bahwa air adalah guru, bukan ancaman. Indonesia bisa menjadi contoh global bagaimana bencana menjadi berkah. Air menunggu kita untuk mendengarkan.







