Oleh: Zul Syahrul Ramadhan
Wartawan Magang
Di atas podium, janji dipoles seperti emas,
turun ke jalan, ia mengelupas jadi debu dan lemas.
Rakyat diminta sabar, katanya demi masa depan,
sementara meja kekuasaan penuh piring kenyang.
Anggaran dibacakan dengan suara berwibawa,
namun bocor halus di saku yang tak pernah bernama.
Hukum berdiri tegak—katanya sama rata,
tapi selalu menunduk saat berjumpa tahta.
Kami tak menuntut surga turun dari langit,
hanya keadilan yang tidak pilih kasih dan pamit.
Jika negara adalah rumah bagi semua suara,
mengapa yang paling lapar justru tak pernah didengar?







