Home CERPEN RINTIH

RINTIH

292
0
Photo Illustratiton from Pinterest

Nama : Moh Rizky Ramdani
Prodi : Hukum Ekonomi Syariah
Semester : 4

Kuseduh kopi hangatku sembari duduk didepan meja dan mencoba menuliskan sebuah cerita. Hai, saya dani. Seorang lelaki berusia 26 tahun yang sukses untuk sebuah karir yang cukup rumit. Mungkin sekarang saya bisa dikatakan salah satu orang berpengaruh di kota ini. Yups, sedemikian besar sebuah nama yang ku rintis dari nol. Ini bukan cerita soal kesuksesan ataupun perjuangan, tapi…..

Surya membangunkanku dengan tatapan sinarnya yang tajam, kulihat ibu juga sedang menghampirikku, sepertinya ingin membangunkanku juga, hahaha. Ku lihat jam menunjukkan pukul 6 pagi, waktunya untuk mandi dan berangkat ke sekolah. Sekolah? Yups, ini cerita tentang kisahku 16 tahun yang lalu.

Ku lihat ibu sudah siap didepan rumah dengan sepeda andalannya dan ku percepat gerakanku memakai sepatu dan langsung bergegas menaiki sepeda itu juga. Hehe saya selalu begitu tiap pagi, saya tak pernah berkecil hati saat teman lain di antar menggunakan motor atau mobil, yang saya tau ibu adalah super heroku. Setibanya di sekolah saya pamit dengan ibu dan memasuki pintu gerbang, sekitar 10 meter ku berjalan, kucoba untuk berbalik ke belakang dan kulihat senyuman ibu masih ada. Itu adalah sumber semangatku paling besar.

Tak terasa bel berbunyi, menandakan waktunya pulang sekolah. Ku lihat dari kejauhan ibu sedang mengusap keringatnya. Ku tahu ia cape, seketika saya langsung berteriak “ibuuuuu”, ia langsung menengok dengan senyuman khasnya yang tak pernah kulupakan. Senyuman yang penuh dengan benih harapan. Seperti biasa ketika bertemu, ibu selalu menanyakan ada cerita apa di sekolah tadi, bagaimana dengan pelajaranmu. Hahaha pertanyaan itu tak akan kulupakan.

Dani, mana ayahmu? Hehe, ayah saya meninggal ketika saya berumur dua tahun, saya tak sempat melihat wajahnya, Fotonya pun tak ada. Yah wajar sih saya saat itu orang yang serba kekurangan. Mesti begitu saya tetap bisa sangat bersykur karena di lahirkan dari Rahim ibu seperti ia. Ibu saya berjuang sendiri membesarkan seorang anak lelaki seperti saya. Kadang ia jualan kerupuk keliling, kadang ia menjadi jasa cuci keliling di rumah orang, kadang juga ia jadi buruh bagasi, itu loh yang biasa angkat-angkat barang. Hahaha menarik bukan?

Tak terasa saya mulai beranjak dewasa, saya lulus Sekolah Dasar sebagai lulusan terbaik. Ibu saya bersykur sekali waktu itu, kulihat matanya berkaca, walau bagi kalian mungkin itu tidak seberapa berarti Tapi bagi ibu itu sangat berarti.

Hari berganti, bulan berpindah, tahun bertambah. Hari-hari yang berat kulalui dengan setapak jalan meski kadang keadaan membuat saya untuk menyerah, tapi superheroku masih kuat. Tiba saatnya pengumuman kelulusan, ku lihat namaku tak ada. Ibuku begitu terpukul saat itu, melihat anak kesayanganya tak lulus di bangku SMA. kalian tau karena pergaulan, ketika masih duduk di bangku SMA, saya sempat mencoba narkoba. Saat itu saya benar-benar runtuh, bingung, kecewa, pasrah, ntah apalagi sepertinya. Dan itu berimbas ke nilai-nilai saya dan kelakuan saya yang suka bolos.

Ku coba melewati masa-masa itu dengan langkah yang terus tertatih melihat ibu terus bekerja, “tuhan, apakah saya anak yang tak berguna?” ucapku merintih dalam hati saat itu. Sepertinya tuhan ingin menjawab, kebetulan ku dengar ada pembukaan pendaftaran ujian paket C. saya langsung bergegas mengurusnya dan akhirnya saya lulus ujian tersebut. dari situ saya mulai bangun. Ingin kuliah tak punya biaya, dengan keadaan terpaksa saya harus mengubur niat tersebut dan kembali bekerja membantu ibu meringankan biaya kehidupan.

Setahun berselang, kulihat ada poster beasiswa kuliah yang di tempel di tiang jalanan. Tanpa membuang waktu, saya langsung mengurusi berkas-berkas tersebut dan akhirnya saya di terima masuk di salah satu universitas dengan jalur beasiswa tersebut, ibuku sangat bangga. Kulihat senyum khasnya itu kembali, benih-benih harapan itu terbit seperti mentari menatapkan sinar tajamnya di pagi hari. Namun tak berselang lama, ku lihat ia seperti menutupi wajah murungnya, wajah kecemasannya. Mungkin ia berfikir dengan saya kuliah beban keuangan kembali terasa berat di pundakknya dan saya merasakan itu. ku coba tuk meyakinkanya
“ibu, saya akan tetap bekerja, ini biar jadi urusanku. Bagaimana susahku tak perlu lagi ibu rasakan”

Seketika air mata menetes dengan sendirinya, haha saya lelaki yang lemah. Setahun sudah ku jalani masa perkuliahan, kulihat ibu mulai sakit-sakit. Ku coba untuk berbicara denganya agar ia tak lagi bekerja. Namun, ia tetap memaksa untuk bekerja. saya belajar dari pengalaman pahit, saya tak boleh bermain-main untuk sebuah pendidikan lagi. Akhirnya saya wisuda dengan kategori cumlaude dan menjadi wisuda terbaik se-universitas tersebut. Namun, tak ada senyum ibu di ruangan itu, seketika saya pulang dan berbegas memberi tahukan ibu tentang ini. ku temui ibu yang sedang terbaring sakit di kasurnya. Kuberi tahukan kepadanya dan iapun tersenyum mencoba untuk memelukku, namun dengan sigap langsung ku memeluk ia begitu erat. Suasana senang, haru, dan bangga menjadi pecah, tak bisa terbendum, isak tangis pun tersuarakan.

Cerita tak sampai disini saja, setelah itu saya coba membagi fokus antara merawat ibu dan bekerja. Saya bekerja di salah satu perusahan di kota dan di samping itu saya juga merintis sebuah karir bisnis bersama teman saya. Dalam 16 jam saya harus membagi waktu antara pekerjaan saya di perusahaan, bisnis saya, dan yang utama merawat ibu saya.

Dua tahun berselang akhirnya apa yang saya impikan terwujud. Di usia saya yang ke 26 tahun ini. Saya bisa beli rumah, kendaraan, dan kebutuhan hidup lainnya. Saya resign dari kantor dan mulai fokus ke bisnis ekspor yang saya jalani. Namun….. ketika saya ingin membagi kebahagian bersama ibu, ku ingat ibu sudah di peristirahatan panjangnya, sebulan yang lalu ibu saya meninggal. Ia meninggalkan warisan semangatnya dan senyuman khasnya yang terus membayang di ingatan saya.

Hari ini, tepatnya 40 hari kepergiannya. Saya masih begitu ingat sekali senyuman itu, senyuman yang bisa membuat saya sampai di posisi ini. begitu banyak kepahitan yang kami jalani berdua, yang kami rasakan berdua. Ku ingat kami berbagi nasi sepiring untuk sehari, kadang ibu juga tak makan, ia berpura-pura kenyang agar anaknya tetap makan. Ku ingat juga kami pernah tertawa hanya karena beras sudah tak ada lagi, ku tau saat itu tertawa ibu palsu, tapi yah begitulah adanya. Namun saat di posisi berbahagia seperti ini ia sudah tak lagi ada. Saya benar-benar kecewa sama tuhan. Tapi saya berpikir surga butuh senyuman seperti ibu saya.

Benar kata mereka, dibalik lelaki yang sukses ada wanita hebat di sampingnya. Wanita yang coba membuat sayap lelaki tersebut kuat untuk terbang tinggi. Seperti induk elang yang mengajari anaknya terbang untuk bertarung. Ku akhiri cerita ini dengan kata manis dari ibu.
“nak, apapun yang terjadi, kita harus beryukur. Kita tak pernah meminta sama tuhan untuk di takdirkan hidup begini, ini adalah sebuah jalan yang harus di tempuh, tuhan tahu kita kuat untuk bertarung”

Previous articleBahagia dalam Lara
Next articleDEMA FTIK UIN Datokarama Gelar Pelatihan KTI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here