Nama : Muhammad Nur Hidayat Malontu
Jurusan : Pendidikan Bahasa Arab
Semester : 2
Matahari tenggelam di lautan angakasa dalam perjalannya menuju fajar di sisi seberang bumi tatkala seorang pria yang sedang berbaju putih, bercelana abu-abu berjalan pulang dari sekolah yang jaraknya tak jauh dari rumah. Tibalah ia ketempat kembali mayoritas manusia yang mereka sebut “Rumah”.
Tak seperti kebanyakan manusia, ia mendefinisikan rumah hanya sebatas tempat kurungan selepas semua aktivitasnya diluar selesai. Bagaimana tidak, Ibunya selalu melarangnya keluar dengan kawan-kawannya, kalaupun dibolehkan keluar, jam 8 malam Ibunya pasti sudah duduk diteras rumah menunggunya dengan sapu ijuk yang berada di tangan kirinya. Mungkin jika kau sepertinya, kita akan memiliki makna yang sama tentang rumah.
Begitupun ketika Matahari telah menyapa Bumi dengan fajarnya, Ibunya pasti selalu membangunkannya kendatipun itu hari libur, menyapu halaman dan mencuci piring sudah menjadi rutinitasnya tiap pagi.
Ekata Rajendra namanya, agar lebih akrab kau bisa memanggilnya Eka. Sebuah nama yang diberikan oleh ayahnya, Ekata yang berarti anak pertama dan Rajendra yang berarti rajanya raja. Ayahnya berharap anaknya menjadi anak yang tangguh dan harapannya di abadikan dalam nama anaknya.
Seiring berjalannya waktu satu tri wulan telah berlalu, Eka lulus disekolah dengan perolehan nilai yang tidak begitu memuaskan, tapi entah keberuntungan dari awan mana yang ia dapatkan sehingga bisa lolos di salah satu universitas ternama di Kalimantan Timur.
Eka yang sebelumnya adalah seorang anak rumahan dan cenderung pemalu kini harus dipaksa merantau di Tanah Borneo jauh dari tempat asalnya, Tanah Andalas. Tapi mau bagaimana lagi ayahnya yang bekerja di perusahaan tambang menyetujui, ibunya yang seorang irt juga mengamini. Eka dipaksa mandiri.
Kini ia hidup sendiri di kamar indekosnya yang berukuran lebih kurang memiliki luas 16² m, tak ada lagi kekangan yang ia dapatkan, tak ada lagi dorongan yang ia terima, tak ada lagi teriakan untuk bangun pagi yang dulu memenuhi telinganya. Kapanpun dan kemanapun ia pergi, tak ada lagi yang membatasi, Eka benar-benar bebas. Kebiasaannya lamanya yang diharuskan pulang setengah 8 malam kini bisa ia mundurkan 6 jam lebih lama, jam tidurnya tidak teratur, begitupun makannya.
Setelah beberapa semester ia lalui dalam perkuliahan, berberapa fase circle dan pertemanan yang dilewatinya, ia merasa hidupnya begitu sepi, temannya banyak tak terhitung, kebebasannya pun tak terbatas, keadaan ekonominya baik-baik saja, tapi sepi yang selalu ia rasakan. Saat sedang tenggelam dalam renungan mengenai perasaanya, gawainya berdering, terpampang tulisan “Ayah”. Diangkatnya telepon dari ayahnya dan yang ia dengar adalah kabar buruk tentang ibunya yang harus di operasi karena katup jantungnya yang bocor, Ayah mendesaknya pulang untuk menemui dan menyemangati ibunya agar kuat dalam melawan penyakitnya.
Sorenya Eka bersegera mengepak barang-barangnya karena tak ingin ketinggalan pesawat yang akan ditumpanginya malam nanti, dalam perjalanannya menuju bandara, tak ada satupun kawan yang mengantarnya, makin terpikir olehnya perihal kesepian yang tadi ia renungkan.
Hingga ia tersadar akan satu hal, ketika tidak ada lagi yang mencarinya untuk pulang, ketika tidak ada lagi yang membangunkannya di pagi hari, ketika tidak ada lagi yang mengingatkannya untuk makan, Apakah itu yang ia anggap “bebas”?. Ia sadar mengapa ia merasa begitu sepi, yang ia kejar selama ini ternyata adalah sepi itu sendiri.
Badai memeluk pesawat yang ia tumpangi, terjadi turbulensi, cuaca begitu buruk, pilot hilang kendali, gunung pun tak sengaja tertabrak. Eka tidak sempat merasakan peluk ibunya, tidak sempat melihat senyum ibunya. Di usianya yang baru 21 ia harus usai.
“Ibu, aku bebas”.