Nama: Rizki Hairia
Jurusan: Informatika
Semester: I
Malam itu dingin menusuk, hujan rintik-rintik membasahi tanah yang sudah lama tak tersentuh air. Di sebuah ruangan kecil di sudut kota, Azalea duduk diam di kursinya. Pandangannya kosong, hanya tertuju pada sebuah foto tua di atas meja. Dalam foto itu, ada seorang pria dengan senyum hangat yang pernah menjadi pusat duniannya. Namanya Lucas.
Lucas adalah seseorang yang mengajarkan Azalea arti cinta dan kehilangan. Mereka bertemu ketika sama-sama mencari tempat untuk menghilangkan kesepian. Bagi Azalea, Lucas adalah kehangatan di tengah dinginnya hidup. Tapi takdir ternyata punya cara kejam untuk memisahkan mereka.
Lima tahun yang lalu, Lucas pergi tanpa pesan, tanpa perpisahan. Hanya ada secarik surat yang ditinggalkannya di meja. Surat itu hanya berisi satu kalimat: “Maaf, aku tak bisa lagi.” Tidak ada penjelasan, tidak ada alasan. Azalea mencarinya ke mana-mana, mencoba memahami apa yang salah, tapi Lucas seolah menghilang tanpa jejak.
Setiap malam, Azalea bertanya pada dirinya sendiri: Apa yang membuatnya pergi? Apa aku terlalu mencintainya? Apa aku kurang cukup? Pertanyaan itu menjadi racun yang perlahan merusak dirinya.
Hingga hari ini, Azalea masih hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Ia berhenti mencoba untuk mencintai orang lain, karena baginya, cinta hanya berarti luka. Setiap sudut ruangan apartemennya masih dipenuhi dengan kenangan tentang Lucas: foto-foto mereka, buku yang pernah mereka baca bersama, bahkan aroma parfum Lucas yang entah bagaimana masih melekat di udara.
Suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam, Azalea berjalan menuju taman tempat mereka biasa bertemu dulu. Di sana, ia melihat seorang pria duduk di bangku yang sama. Jantungnya berdegup kencang. Itu Lucas. Meski wajahnya sedikit berubah, ia tidak mungkin salah.
Dengan langkah ragu, Azalea mendekat. “Lucas?” suaranya bergetar.
Pria itu menoleh, dan senyumnya langsung memukul semua dinding yang selama ini Azalea bangun di hatinya. “Azalea,” jawab Lucas lembut.
Mereka duduk bersama, namun tidak ada kata yang cukup untuk menjelaskan lima tahun yang hilang. Akhirnya, Lucas berkata, “Aku pergi karena aku takut.”
“Takut pada apa?” tanya Azalea, suaranya parau.
“Takut bahwa mencintaimu berarti kehilangan diriku sendiri.”
Jawaban itu menghancurkan Azalea sekaligus menjawab semua pertanyaan yang menghantuinya selama ini. Ia sadar, luka itu akan tetap ada, tapi kini ia tahu bahwa cinta kadang bukan tentang memiliki, melainkan tentang melepaskan.
Malam itu, Azalea pulang dengan hati yang masih berat, tapi ada sesuatu yang berubah. Luka itu mungkin takkan pernah sembuh, tapi ia akhirnya mengerti bahwa luka itu adalah bagian dari hidupnya, bagian dari dirinya yang membuatnya manusia.
Dan di balik setiap luka yang abadi, ada cerita yang takkan pernah hilang.