Oleh: Ummul Hasanah
Pengurus LPM Qalamun
Kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Oleh karena itu, dibentuk Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 3 ayat (1) dijelaskan bahwa fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Namun, di era reformasi seperti sekarang, justru kekerasan terhadap pers mengalami peningkatan. Kebebasan pers sudah diatur dengan jelas dalam UU, di mana setiap proses kegiatan jurnalistik dilindungi oleh hukum. Kenyataannya, masih banyak jurnalis yang mendapat intimidasi dan kekerasan.
Belum lama ini, terjadi peristiwa yang sangat memprihatinkan. Kantor redaksi majalah berita mingguan Tempo menerima kiriman paket berupa kepala babi yang ditujukan kepada salah satu jurnalis perempuan. Beberapa hari kemudian, disusul kiriman bangkai tikus. Teror dalam bentuk kiriman bangkai hewan ini dianggap sebagai salah satu upaya pembungkaman pers. Padahal, kebebasan berpendapat telah dijamin dalam konstitusi.
Peristiwa tersebut terjadi bersamaan dengan mencuatnya kontroversi dan penolakan terhadap pengesahan UU TNI yang baru. Tempo dikenal sebagai salah satu ikon media massa di Indonesia yang memiliki reputasi nasional maupun internasional. Majalah ini berkomitmen memberikan liputan yang berimbang, kritis, tajam, dan berkualitas, termasuk dalam mengulas dinamika politik dan kekuasaan, seperti polemik Revisi UU TNI.
Pemerintah sama sekali tidak bersikap bijak dalam menyikapi teror yang dialami jurnalis. Hal ini terlihat dari pernyataan Hasan, selaku juru bicara Kepresidenan, yang melontarkan komentar tidak sepantasnya. Pernyataannya terkesan menyepelekan permasalahan seserius ini dan seolah merendahkan pers.
Selain kejadian tersebut, masih banyak bentuk intimidasi yang dialami jurnalis, terutama jurnalis perempuan. Intimidasi tidak hanya terjadi dalam bentuk kekerasan verbal dan nonverbal, tetapi juga pelecehan seksual, serangan berbasis gender, hingga ancaman pembunuhan. Mengapa jurnalis perempuan lebih rentan mengalami intimidasi? Jawabannya sederhana: patriarki belum hilang, bahkan semakin menguat.
Pemerintah harus lebih peduli terhadap penegakan hukum dalam kasus-kasus intimidasi terhadap pers. Hanya dengan penegakan hukum yang konsisten dan tegas, kebebasan pers dapat terjaga dengan baik. Hal ini juga menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kebebasan pers adalah aset berharga yang harus terus dijaga.
Sebagai masyarakat demokratis, kita memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa pers dapat menjalankan fungsinya tanpa rasa takut atau tekanan. Perjuangan untuk kebebasan pers bukan hanya tugas jurnalis dan pekerja media, tetapi juga melibatkan akademisi, profesional komunikasi, serta masyarakat sipil secara luas.
Sumber Referensi:
●https://www.kompas.id/artikel/kebebasan-pers-dan-kebebasan-berekspresi-sedang-tidak-baik-baik-saja
●https://suakaonline.com/kebebasan-pers-di-bawah-bayang-bayang-intimidasi/
●https://nasional.kompas.com/read/2025/03/27/09431201/soal-respons-kepala-babi-dimasak-saja-pakar-sebut-ada-ketidakcakapan-kelola
●https://makassar.tribunnews.com/2025/03/24/menjaga-api-kebebasan-pers-di-tengah-intimidasi-refleksi-atas-teror-terhadap-tempo