Oleh: Miftha Wahdania
Wartawan LPM Qalamun
Udara pagi yang tajam membasuh tulang. Dari balik jendela, fajar masih malu-malu meretas cakrawala, menyisakan selimut kabut tipis di kejauhan. Namun, dering alarm yang tanpa ampun telah menarikku dari lelap—menjadi penanda bahwa hari yang kunanti telah tiba. Hari ini, sebuah episode baru dalam bentangan hidupku akan dimulai: pengenalan budaya dan akademik kampus. Sebuah gerbang yang terdengar menyenangkan sekaligus menggetarkan saraf. Di sinilah aku berdiri, di ambang pintu kedewasaan—seorang calon mahasiswi.
Aku bergegas, sementara semangat Ayah dan Ibu seolah melebihi milikku. Mereka siap mengantarku ke kampus negeri berbasis Islam itu, tempat harapanku akan berlabuh. Pukul 05.30, mesin mobil menyala, membawa kami membelah keheningan pagi. Setibanya di gerbang kampus, kucium punggung tangan kedua orang tuaku, memohon doa agar langkah pertamaku sebagai seorang dewasa dilancarkan.
Dengan langkah yang dipercepat karena takut terlambat, mataku menangkap lautan manusia—wajah-wajah asing yang sama sepertiku, menunggu. Sayangnya, dinding introversiku terlalu tinggi untuk kuruntuhkan demi sebuah sapaan. Betapa kikuknya diriku. Tak lama, sebuah suara dari pengeras suara memanggil kami semua untuk berkumpul di lapangan utama.
Di tengah kerumunan itu, aku memberanikan diri.
“Halo! Namaku Hyuna, siapa namamu?” tanyaku pada seorang lelaki berpostur sedikit berisi. Topi hitam yang dikenakannya membuatnya tampak begitu menawan.
Ia menoleh, dan sebuah senyuman manis terukir di wajahnya. “Oh, halo, Hyuna. Aku Kafka. Senang berkenalan denganmu. Ngomong-ngomong, dari jurusan apa?”
“Aku di Sistem Informasi, Kaf. Kalau kamu?” balasku. Tatapanku terkunci padanya, enggan berpaling.
“Wah, kita sejurusan, Hyun! Semoga nanti kita bisa sekelas, ya, dan berteman baik,” sahutnya riang. “Maaf, Hyun, aku harus ke kelompokku sekarang. Sampai ketemu lagi!” Ia berlari kecil sambil melambaikan tangan. Sebuah perkenalan yang begitu singkat, namun terasa begitu indah. Untuknya, hatiku bergetar paling awal.
Aku pun bergegas mencari kelompokku. Kami berbaris rapi, nama-nama diabsen, dan almamater serta kartu identitas dibagikan sebagai tanda resmi kami telah menjadi bagian dari keluarga besar ini. Hari itu berjalan nyaris sempurna, walau sedikit ternoda oleh rasa sakit di perut akibat terlambat makan. Sebuah insiden kecil yang memalukan, tetapi kebaikan kakak-kakak panitia yang memberiku obat dan waktu istirahat membuatnya menjadi kenangan yang hangat.
Pengenalan kampus telah usai, dan hari pertama perkuliahan pun tiba. Doa yang sama masih kurapalkan dalam hati: semoga Kafka sekelas denganku. Anak laki-laki itu telah tanpa izin menguasai isi kepalaku.
Saat menaiki tangga gedung perkuliahan yang megah, aku berpapasan dengan seorang pria.
“Permisi, kamu Riga, ketua kelas A, kan?”
Ia sedikit terkejut, namun membalas dengan ramah. “Iya, aku Riga. Kamu kelas A juga? Siapa namamu?”
“Syukurlah ketemu kamu! Aku Hyuna. Aku tersesat, gedung ini besar sekali. Kelas kita di mana?” cerocosku—lega sekaligus lelah.
Riga tertawa kecil. “Tenang, Hyuna, tenang. Ayo, biar kuantar. Aku sudah tahu letak kelasnya.”
Kami berjalan bersama menyusuri koridor. Gedung ini punya empat lantai, dan sialnya, kelas kami berada di lantai tiga. Dengan napas yang mulai tersengal, kami menaklukkan satu per satu anak tangga. Sesampainya di depan sebuah pintu kayu berwarna cokelat tua, Riga mempersilakanku masuk.
“Ini kelas kita. Masuk saja dulu, aku menunggu yang lain—siapa tahu ada yang tersesat sepertimu.”
“Terima kasih banyak, Riga,” balasku sambil mendorong pintu yang terasa berat itu.
Di dalam, baru ada segelintir orang. Aku memilih bangku di barisan kedua—tidak terlalu depan, tetapi cukup untuk mataku yang minus ini. Pandanganku menyapu ruangan, tak terlalu memerhatikan wajah-wajah baru itu, hingga mataku terpaku pada satu sosok. Topi hitamnya… mirip sekali dengan yang dipakai Kafka. Itu Kafka. Benar, itu dia.
“Itu Kafka…” bisikku dalam hati. Gelombang keinginan untuk menyapa beradu dengan rasa malu yang melumpuhkan.
Hingga jam kuliah berakhir, tak ada satu kata pun terucap di antara kami. Mungkin ia sudah lupa pada gadis yang menyapanya tempo hari. Aku membiarkannya, meski secuil kecewa menyelinap di hati. Di satu sisi aku bahagia kami sekelas; di sisi lain, kami kembali menjadi orang asing. Mungkin benar, perkenalan memang selalu menjadi bagian yang terindah.
Tiga bulan berlalu. Waktu mencairkan kebekuan di antara kami. Aku dan Kafka telah menjadi teman baik. Ruangan kelas sering kami penuhi dengan gemuruh tawa, candaan, dan berbagai permainan sederhana. Hari-hari terasa lebih ringan bersamanya. Perlahan, aku semakin mengenali lapis-lapis karakternya—sebuah proses yang tanpa kusadari membuatku jatuh semakin dalam.
“Kaf, nggak ikut kumpul?” tanyaku suatu sore, menyentuh pelan pundaknya.
“Kayaknya nggak dulu, Hyun. Lain kali, ya. Aku mau langsung pulang hari ini,” jawabnya dengan nada yang sedikit lebih serius dari biasanya.
“Yah, nggak seru tanpa kamu. Oke deh, hati-hati di jalan!” balasku sedikit lirih.
Melihatnya pergi, semangatku pun surut. Aku memutuskan untuk pulang, menyimpan energi untuk esok hari—untuk mata kuliah yang sulit, untuk kembali bertemu dengannya, dan untuk terus memendam perasaan ini.
Malam itu, di hadapan layar laptop yang menyala, sebuah ide terlintas. Aku, yang gemar merangkai kata dalam sunyi, memutuskan untuk menulis tentangnya. Menulis tentang betapa indahnya ia di mataku, bagaimana aku bisa jatuh cinta padanya, dan bagaimana aku rela tenggelam dalam perasaan ini. Di tengah jemariku menari di atas papan ketik, iseng kukirimkan sebuah pesan.
“Kaf, kalau ada yang nulis tentang kamu, kamu seneng nggak?”
Balasannya datang cepat.
“Tiba-tiba banget, Hyun? Kayaknya nggak mungkin, deh. Memangnya aku siapa? Hahaha.”
“Ih, aku serius. Siapa tahu kamu punya secret admirer. Aku penasaran.”
“Hyun, kalaupun ada, rasanya pasti ajaib banget. Memangnya ada yang merhatiin aku sedetail itu? Orang terdekatku saja sepertinya tidak, Hyun.”
Ada, Kaf. Aku orangnya. Aku yang memerhatikanmu, bahkan bersedia mengerti semua sisimu.
Kalimat itu hanya mampu kuketik, lalu kuhapus kembali.
“Kamu mana tahu, Kaf. Namanya juga pengagum rahasia,” balasku singkat.
“Hahaha, terserah deh, Hyun. Semoga ada. Aku sudah tenang dengan hidupku yang seperti ini.”
Aku tak membalasnya lagi. Aku melanjutkan tulisanku, dengan sebuah niat tulus: aku ingin menunjukkan bahwa di dunia ini ada seseorang yang menyayanginya—terutama di saat ia merasa dunia tak berpihak atau ketika ia merasa sendiri.
Enam belas hari kemudian, tulisan itu selesai. Jantungku berdebar kencang membayangkan akan mengirimkannya. Aku memilih tengah malam sebagai waktu yang tepat, berharap ia sudah terlelap dan baru akan membacanya esok pagi.
Dengan jari gemetar, kukirimkan tulisan itu beserta sebuah pesan pengantar:
“Hai, Kaf. Sebenarnya aku malu mengirim ini, tapi ini risiko yang harus kuambil. Setelah dibaca, tolong lupakan selupa-lupanya, ya. Terima kasih.”
Malam itu, tidurku gelisah. Aku takut akan jawabannya.
Pagi tiba dengan kecanggungan yang luar biasa. Memasuki kelas dan harus bertemu dengannya terasa seperti sebuah ujian.
“Hai, Hyun. Selamat pagi,” sapa Kafka saat aku baru saja melangkah masuk.
“Eh, hai juga, Kaf,” balasku kaku, lalu bergegas menuju bangku, menghindari tatapannya yang teduh.
Ketika seluruh mata kuliah selesai, ia menghampiriku.
“Hyun, belum mau pulang, kan?”
“Belum, Kaf. Kenapa?” jawabku. Jantungku mulai berpacu.
“Bicara sebentar, boleh?” tanyanya serius.
“Boleh. Di rooftop saja, ya. Aku tunggu.”
Di atap gedung, di antara embusan angin sore, kami berdiri berhadapan.
“Hyun,” ia memulai. “Aku tidak menyangka kalau itu kamu. Aku sudah baca semuanya. Aku mau berterima kasih karena sudah jatuh cinta sama aku. Terima kasih sudah menulis paragraf seindah itu untukku. Hatiku tersentuh. Ternyata ada yang memperhatikanku sedemikian rupa. Tapi, maaf, Hyun. Maaf kalau aku bukanlah laki-laki yang tepat untukmu saat ini. Aku belum siap memulai sebuah hubungan. Aku takut nantinya hanya akan menyakiti hatimu.”
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba tersenyum.
“Kaf, tidak perlu berterima kasih. Aku tidak pernah meminta balasan. Perasaanku padamu adalah yang paling tulus yang pernah kupunya, dan aku tidak ingin menodainya dengan label ‘pacaran’. Rasa ini tumbuh bukan karena aku kesepian, Kaf. Rasa ini tumbuh karena orangnya adalah kamu.”
Ia menatapku lekat, matanya menyiratkan kehangatan.
“Terima kasih sudah menjadi orang setulus itu, Hyuna. Aku berdoa, semoga kelak semesta memberi kita kesempatan. Jika kamu memang takdirku, aku akan memilihmu. Untuk sekarang, selamat berjalan di jalan masing-masing dulu, ya. Kita sama-sama bertumbuh, mencapai apa yang kita cita-citakan. Setelah itu, kita bertemu kembali di versi terbaik diri kita. Selamat bermekaran, Hyuna.”
Air mataku nyaris jatuh, tetapi kutahan.
“Terima kasih kembali, Kafka. Terima kasih sudah menjadi orang yang tepat untuk aku jatuhkan hati. Terima kasih tidak membawaku ke jalan yang salah. Selamat bermekaran juga di luar sana. Semoga segala impianmu terkabul. Akan selalu ada aku yang mendoakanmu dari jauh. Jika suatu saat kamu merasa tak ada yang bangga padamu, menolehlah. Aku akan berdiri di sana, memegang papan bertuliskan namamu.”
Kami tidak berpisah. Kami juga tidak saling mengasingkan diri. Kami hanya memberi jarak—sebuah jeda untuk menghargai Sang Pencipta. Kami sadar, cinta-Nya lah yang utama untuk dikejar. Dari kejauhan, kami akan saling mendoakan, berharap kata “kita” yang fana suatu saat nanti akan menjadi takdir yang nyata.







