Home CERPEN Lima Tahun yang Mengubah Hidupku

Lima Tahun yang Mengubah Hidupku

39
0

Nama: Rennu Alifah Rahma
Jurusan: Sistem Informasi
Semester: I

Siang yang begitu cerah dan angin yang berhembus di sebuah kota kecil. Saat itu, aku Gavin… seorang remaja berusia 19 tahun yang akan segera menjadi dewasa. Akan tetapi, banyak hal yang belum bisa aku kontrol. di saat pertama aku masuk kuliah dan melihat teman-teman sebayaku yang sudah memiliki kendaraan sendiri dan rasa iri mulai menyelimuti hatiku “Kenapa mereka semua punya hal yang tidak ku punya? Aku merasa tertinggal…”. dengan wajah yang mengerut aku berjalan pergi ke kampus. Sampai di mana ketika aku ikut bergabung ke salah satu kelompok dan mengetahui bahwa di balik semua itu banyak hal yang buruk yang menjadi titik awal dari jalan hidupku. Mereka sering melakukan suatu hal yang disebut dengan kenakalan remaja, seorang kating yang bernama Barra yang juga teman masa kecil menghampuriku. “Eh, Gavin! Kenapa murung? Kita bisa cari cara untuk dapat uang, loh!”. Selanya saat aku sedang berjalan untuk pulang. “Maksudmu apa?” tanyaku bingung dengan kehadiran teman kecilku itu. “Aku punya barang yang bisa kita titipkan di kosmu. Imbalannya lumayan. hanya dengan menitipkan barang, kamu bisa menghasilkan uang.” Barra berkata untuk meyakinkan aku. “Tenang, enggak ada yang perlu dicurigai. Ini rahasia kita!” lanjutnya. Akupun mengiyakannya tanpa berbikir panjang.

Di saat aku pulang ke kos, aku bersama tiga teman kuliahku yang baru aku kenal tiga bulan lalu pulang Bersama. Kami tinggal di satu kos yang sama agar mengurangi biaya kos, berjalannya waktu aku baru mengetahui bahwa barang yang dititipkan oleh Barra adalah barang illegal yaitu lintingan ganja, dengan kesepakatan bersama aku dan tiga temanku memilih untuk merahasiakannya. setiap ada pesanan Barra akan datang ke kos untuk mengambil beberapa barang sesuai pesanan yang dia dapat. Alasan Barra menitipkan barangnya karena kami masih mahasiswa baru dan masih tergolong polos sehingga tidak dicurigai jika menyimpan barang tersebut. Tanpa terduga Barra tertangkap tangan sedang menjual barang itu, dan akhirnya kami juga ikut terseret karena menyimpan barang tersebut di kos, “Kalian semua terlibat. Ini barang ilegal, kalian harus bertanggung jawab,” petugas itu berkata sambil membawa kami untuk diinterogasi. Aku sempat membantah tuduhan tersebut, “Kami… kami tidak tahu! Itu barang Barra! kami tidak terlibat!,” akan tetapi kami tidak punya cukup bukti untuk mebantah tuduhan tersebut. Aku dan tiga temanku mulai menyesali apa yang telah kami lakukan, hanya karena membiarkan Barra menitipkan barang illegal itu, secara tidak langsung kami ikut terkena imbasnya.

Selang beberapa waktu kami akhirnya dibebaskan bersyarat dan dibayarkan uang jaminan oleh pemilik barang dengan catatan harus keluar dari kota tersebut selama lima tahun. Dengan terpaksa kami pun berpisah dengan tujuan masing-masing, kemudian aku pergi ke pelabuhan dan kebetulan ada kapal penumpang yang menuju ke Pulau Sulawesi.

Saat malam tiba di kapal yang kunaiki, aku bergumam, “Apa yang harus aku lakukan sekarang? Lima tahun… Ini terasa berat,” yang tersisa padaku hanyalah baju yang ku kenakan dan uang sebanyak Rp 180 ribu yang diberikan oleh pemilik barang ilegal tersebut. aku duduk dan termenung di kapal hingga perhatianku teralihkan oleh salah satu petugas kapal atau disebut ABK yang juga bekerja sambil berjualan kopi dan teh panas serta camilan, tanpa berpikir panjang aku langsung menghampiri orang tersebut “Selamat pagi, Pak. Boleh saya beli kopi satu?” sapaku. “Tentu. Sini, duduk. Dari mana kamu?” tanyanya, “Saya dari kota kecil. Ingin pergi merantau, pak” jawabku seadanya. Kami mulai berkenalan sambil meminum kopi yang kubeli dari bapak itu, aku menawarkan diri untuk membantu berjualan agar aku bisa mendapat penghasilan selama perjalanan diatas kapal.

Mengarungi lautan selama empat hari sendirian di tengah keramaian, dan tibalah aku di Pelabuhan bitung Sulawesi Utara, setelah turun dari kapal aku tidak punya tujuan dan aku juga tidak mengenal seorang pun di sana. Dengan langkah yang pasti akupun pergi ke salah satu pos polisi di pelabuhan, “Permisi, Pak. Boleh saya istirahat di sini sebentar?” kataku kepada pak polisi yang sedang berjaga. “Tentu saja, Tapi jangan berkeliaran terlalu jauh. Ini sudah malam,” akupun mengangguk dan segera beristirahat di pos itu, malam yang begitu sunyi di tempat yang asing membuatku teringat akan kedua orang tuaku, saat pagi aku terbangun dari tidurku dan melihat orang-orang mulai ramai beraktivitas. Akupun berinisiatif untuk menjadi buruh yang mengangkut barang bersama buruh lain di pelabuhan, Karena tidak punya pilihan lain lagi akhirnya aku menerima tawaran dari salah satu buruh untuk tinggal di sebuah rumah kecil yang berisikan 15 orang.

Suatu hari aku mengamati sekitar dan mendapatkan sebuah fakta bahwa sebagian buruh yang ada di pelabuhan tersebut mempunyai pekerjaan sampingan yang Sebagian kecilnya menjadi pencopet, “Gavin, mau ikut kami jadi pencopet? kamu bisa mendapatkan uang dengan mudah,” usul salah satu buruh kepadaku. “Enggak, terima kasih. Itu bukan jalan yang benar. Aku lebih baik bertahan dan mencari cara lain.” Ucapku kepada mereka yang terus berusaha meyakinkanku untuk ikut menjadi dari bagian mereka. Aku melihat dari kejauhan ada tes yang harus dilalui dimana ada kelereng disebuah mangkuk yang di baluri minyak agar licin, kelereng tersebut harus diambil dengan menggunakan dua jari dengan cepat, hal itu dilakukan untuk melatih kecepatan tangan agar terampil.

Aku bertahan di pelabuhan sambil menunggu kapal yang sebelumnya kutumpangi kembali ke Pelabuhan Bitung dan menuju ke Pelabuhan Priuk Jakarta. Setibanya kapal di pelabuhan, aku segera naik ke kapal dan mencari pa Baim yang pernah bertemu denganku dan meminta untuk ikut naik kapal tanpa tiket karena aku sudah tidak memiliki uang yang tersisa “Pak, terima kasih sudah mengizinkan saya ikut. Saya bisa bantu jualan ini,”. Setibanya di Jakarta, aku tidak punya pilihan selain mengikuti pa Baim pergi berbelanja untuk dijual di kapal, hingga tiga bulan berjalan tanpa terasa aku sudah memiliki sedikit uang untukku jadikan modal belanja barang jualan sendiri. Ada saat di mana aku merasa bosan berjualan di kapal, aku memberanikan diri untuk mencoba pengalaman yang lain dengan melamar menjadi sales menjual minuman herbal di daerah Jakarta. selama aku jauh dari kampung halaman, hal terberat yang aku rasakan adalah disaat mendengarkan suara takbiran pada malam lebaran, aku hanya bisa terdiam sendiri dan hanya kesunyian yang bisa menemaniku. aku sering merindukan orangtuaku di kala merasa kesulitan dengan pekerjaan, aku terus menguatkan hati dan pikiranku bahwa ini hanya sementara.

Beberapa tahun kulalui dengan berat, aku telah menjadi seorang agen penjualan minuman herbal di Indonesia bagian timur, dengan kerja keras dan tekadku dari situ mengubah segalanya dengan proses yang tidak mudah aku bisa sampai di titik ini yang sebelumnya adalah seorang remaja yang manja menjadi seorang yang lebih dewasa. Aku mempunyai niat jika kelak aku Kembali ke kampung halamanku, aku akan memberitahu kepada keluargaku bahwa tidak selamanya anak yang salah jalan itu akan selalu salah selamanya.

Tepat lima tahun kepergianku dari kampung halaman, akupun pulang untuk bertemu keluargaku, tawa dan tangis menjadi satu saat aku terlihat dari kejauhan. “Ma! Pa! Aku sudah kembali!” aku segera berlari kepelukan mereka. “Anakku, kami merindukanmu!,” aku langsung menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga besarku karena perbuatanku dulu mempermalukan keluargaku. Suasana begitu haru membuatku menjadi lega ketika melihat wajah kedua orangtuaku. Aku bertekad untuk menebus kesalahanku dimasa muda dengan menjadi mandiri dan memiliki penghasilan sendiri serta siap menjadi orang tua muda karena aku pulang dengan membawa kabar bahwa aku telah melamar seorang wanita yang telah lama aku idamkan ditempat aku merantau dulu, “Aku juga ingin memberitahu kalian… Aku telah melamar seseorang,” ungkapku kepada kedua orang tuaku. “Siapa dia? Kami ingin tahu!” sambut ibuku dengan wajah yang cerah. Dengan senyuman, aku berbicara “Dia wanita yang sangat berarti bagiku. Aku ingin membangun masa depan bersamanya,”. Kedua orang tuaku tampak bahagia melihatku tersenyum “Kami bangga padamu, Gavin. Kamu telah banyak berubah,” itu menjadi sebuah momen yang membahagiakan di dalam hidupku setelah melalui jalan yang cukup panjang.

Dan Inilah kisah remajaku yang berawal dari salah memilih sebuah keputusan, akan tetapi dengan kesalahan dimasa lalu itu bisa menjadi pembelajaran dan pengalaman hidup agar lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Previous articleMenunggu?
Next articleRamai Tapi Sendiri

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here