Home OPINI Ketika Kekuasaan Buta Nurani: Korupsi jadi Harga yang Biasa Dibayar

Ketika Kekuasaan Buta Nurani: Korupsi jadi Harga yang Biasa Dibayar

7
0

Oleh: Zul Syahrul Ramadhan
Wartawan Magang

Korupsi di Indonesia seolah sudah menjadi bagian dari denyut nadi kekuasaan. Kasus demi kasus terus muncul, mulai dari pejabat tinggi, anggota legislatif, hingga aparat penegak hukum sendiri. Ironisnya, publik tidak lagi terkejut. Kita hanya bisa menggelengkan kepala, membuka media sosial, dan menemukan berita korupsi baru seolah itu hal yang lumrah. Inilah tanda paling jelas bahwa bangsa ini sedang kehilangan rasa malu.

Kekuasaan yang seharusnya menjadi alat untuk menyejahterakan rakyat, kini berubah menjadi jalan pintas untuk memperkaya diri. Banyak pejabat yang seakan lupa bahwa jabatan adalah amanah, bukan hadiah. Mereka berlomba-lomba mencari celah untuk menumpuk keuntungan pribadi, mengabaikan tanggung jawab moral dan nurani yang seharusnya menjadi dasar kepemimpinan. Ketika kursi kekuasaan berubah menjadi tempat transaksi, maka idealisme dan kejujuran pun perlahan mati.

Lebih ironis lagi, hukum di negeri ini sering tampak tidak berdaya di hadapan uang dan pengaruh politik. Hukum kita tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Rakyat kecil bisa dipenjara hanya karena mencuri demi bertahan hidup, sementara koruptor dengan kerugian miliaran rupiah masih bisa tersenyum di depan kamera. Bahkan, beberapa di antaranya masih diberikan remisi, fasilitas mewah di penjara, atau bahkan panggung publik setelah bebas. Bukankah ini bentuk nyata bagaimana nurani telah dibutakan oleh kekuasaan?

Kita hidup di zaman ketika korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan besar, melainkan “risiko jabatan.” Narasi seperti ini sangat berbahaya, karena membuat masyarakat terbiasa pada ketidakadilan. Ketika korupsi dianggap hal yang wajar, maka generasi muda tumbuh dengan mental permisif—menganggap suap dan penyimpangan bukan dosa, melainkan strategi bertahan hidup. Inilah saat di mana bangsa kehilangan arah moralnya.

Padahal, setiap rupiah yang dicuri adalah hak rakyat. Uang hasil korupsi bukan hanya angka di laporan keuangan, tapi jalan rusak yang tak diperbaiki, sekolah yang roboh, dan pasien miskin yang tak tertangani. Korupsi membunuh harapan secara perlahan. Ia bukan hanya merugikan negara, tapi menghancurkan kepercayaan, rasa keadilan, dan harapan masa depan.

Kita tidak bisa lagi diam. Menutup mata terhadap korupsi berarti ikut menjadi bagian darinya. Generasi muda punya tanggung jawab moral untuk bersuara, karena perubahan tidak akan datang dari mereka yang nyaman di kursi kekuasaan. Melawan korupsi bukan hanya tentang menegakkan hukum, tapi juga membangkitkan kesadaran moral bahwa kejujuran bukan barang langka, melainkan dasar dari keberadaban bangsa.

Jika kekuasaan terus buta terhadap nurani, maka kehancuran bukan lagi ancaman—melainkan kepastian. Karena bangsa yang terbiasa pada ketidakjujuran, cepat atau lambat, akan runtuh oleh bobot kebohongan yang dibangunnya sendiri. Sudah saatnya kita sadar: melawan korupsi bukan sekadar tugas aparat, tapi panggilan moral bagi setiap warga negara yang masih punya hati nurani.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here