Nama: Moreno Arya Sandana
Jurusan: Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam
Semester: I
Hari itu, lapangan olahraga sekolah tampak lebih sepi dari biasanya. Hanya suara riuh dari sepatu yang menggesek lantai dan bola basket yang memantul yang memecah kesunyian. Han, pemain bulu tangkis yang sedang berlatih sendirian, memandang raketnya sejenak. Meskipun ia sudah sering berlatih di lapangan yang sama, hari ini ia merasa berbeda. Pikiran dan perasaannya masih tertahan pada sebuah wajah pemain basket yang dikenal di sekolahnya.
Shi adalah tipe gadis yang tidak pernah gentar. Seperti bola basket yang dia lemparkan ke ring, Shi selalu mengarahkan seluruh kekuatan dan fokusnya untuk mencapainya. Han seringkali mengamati latihan Shi dari kejauhan. Mereka tidak pernah berbicara lebih dari sekadar sapaan singkat, namun sesuatu dalam diri gadis itu membuatnya terpesona. Ada sebuah semangat yang meluap dari Shi.
Saat itu, Shi melangkah mendekat setelah sesi latihan selesai. Han tidak bisa mengabaikan perasaan yang ia rasakan. Ada sesuatu yang mengikat mereka, meskipun tak terucapkan.
“Halo Han,” sapa Shi, tersenyum lebar sambil mengelap keringat dari dahinya. “Latihanmu lancar?”
Han mengangguk, sedikit tersenyum. “Lumayan. Tapi rasanya ada yang kurang hari ini.” Dan menanyakan pertanyaan kepada Shi dengan wajah bingung. “Bagaimana kau bisa tau nama ku? ” Ucap si Han.
Shi seketika tertawa dan tersenyum saat mengengar pertanyaan dari Han lalu menjawab. “Bagaimana bisa aku tidak kenal orang yang selalu datang latihan di lapangan sekolah bahkan saat hari libur pun,”
Han hanya terdiam menahan malu dan merasa senang karena Shi mengetahui namanya.
Shi menatapnya dengan rasa ingin tahu. “Katamu latihan nya ada yang kurang? Seperti ada yang mengganjal?”
“Entahlah,” jawab Han, sedikit menggaruk tengkuknya. “Aku merasa sudah berlatih keras, tapi entah kenapa hasilnya selalu tidak cukup. Kadang, aku berpikir, apakah aku bisa benar-benar mencapai impian yang kuinginkan.”
Shi terdiam, tampak memikirkan kata-kata Han. Lalu, dengan suara lembut, dia berkata, “Aku merasa hal yang sama. Kadang-kadang, meskipun berlatih keras, aku merasa seperti tidak bisa melangkah lebih jauh. Tapi, aku tahu aku tidak bisa berhenti.”
Han menatapnya, dan dalam sekejap, ia merasakan ikatan yang tak terucapkan antara mereka. Shi, meskipun berbeda dunia olahraga dengannya, memiliki semangat yang sama. Mereka berdua berjuang, berlatih dengan keras, dan berharap bisa mencapai sesuatu lebih besar, meskipun jalannya terasa terjal.
“Aku mengerti,” kata Han setelah beberapa detik. “Kita berdua sepertinya punya tujuan yang sama, meskipun kita bermain di lapangan yang berbeda.”
Shi tersenyum tipis. “Iya. Aku selalu berpikir, meskipun kita berbeda, semangat yang kita punya sepertinya satu. Mungkin itu yang menghubungkan kita.”
Han terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam kata-kata Shi yang membuat hatinya terasa lebih ringan. Mereka berdua, meskipun berada di dua cabang olahraga yang sangat berbeda, seolah-olah dipertemukan oleh semangat yang sama untuk terus berjuang, tidak menyerah, dan terus melangkah maju meskipun hasilnya belum sesuai harapan.
“Benang takdir, mungkin?” Han berkata dengan suara pelan, hampir seperti berbisik. “Aku sering merasa ada sesuatu yang menghubungkan kita, meskipun kita jarang berbicara. Seperti… ada benang yang tak terlihat yang menarik kita ke arah yang sama.”
Shi menatapnya dengan tajam, seolah mencerna kata-kata itu. “Benang takdir… ya, aku merasa itu juga. Meskipun kita tidak tahu apa yang akan datang, rasanya kita berjalan di jalan yang searah. Mungkin kita berjuang dengan cara yang berbeda, tapi tujuan kita sama, bukan?”
Han mengangguk. “Mungkin kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi selama kita terus berusaha, takdir kita akan mengarahkan ke tempat yang seharusnya,”
Shi tertawa kecil. “Benar. Mungkin kita berlatih untuk hal yang berbeda, tapi semangat kita takkan pernah berbeda.”
Han merasakan ikatan yang semakin kuat antara dirinya dan Shi. Mereka tidak tahu bagaimana takdir akan mengarahkannya, tetapi mereka yakin bahwa semangat mereka yang serupa adalah benang yang tak terlihat yang menghubungkan mereka. Mereka berdua merasa seperti sedang berjalan di jalan yang searah, meskipun jalannya berbeda.
“Bagaimana jika kita menyatukan benang takdir itu?” Han berkata dengan penuh keyakinan. “Mungkin kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku rasa kita bisa melangkah bersama, menghadapi semua tantangan yang ada.”
Shi tersenyum lebar, matanya bersinar. “Aku setuju, Han. Kita tidak tahu apa yang akan datang, tapi jika kita bersama, kita bisa menghadapinya. Kita akan menyatukan benang takdir itu, bersama-sama.”
Mereka berdiri berdampingan di bawah langit sore yang mulai meredup, angin sepoi-sepoi menyentuh wajah mereka. Di antara mereka, ada rasa saling memahami yang mendalam. Meskipun jalan yang mereka tempuh berbeda, semangat mereka yang serupa adalah benang takdir yang mengikat mereka. Han dan Shi tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi selama mereka terus berusaha bersama, mereka akan menemukan cara untuk menyatukan takdir yang sudah lama menarik mereka menuju satu tujuan yang sama.