Nama: Fitri Rahmadani
Jurusan: Tadris Ilmu Pengetahuan Alam
Semester: I
Sejak kecil, Ainun dan Fitri selalu bersama. Mereka tumbuh di lingkungan yang sama, bersekolah di sekolah yang sama, dan selalu saling mendukung dalam setiap langkah. Ainun, dengan senyumnya yang tulus dan keberaniannya, selalu menjadi pelindung bagi Fitri yang pendiam dan mudah tertekan. Meskipun mereka berbeda dalam banyak hal, ikatan persahabatan mereka begitu kuat, seolah tak ada yang bisa merusaknya.
Namun, segalanya berubah ketika mereka memasuki sekolah menengah pertama. Di sana, mereka bertemu dengan sekelompok anak yang lebih besar dan lebih agresif. Salah satu dari mereka, Dila, terkenal karena perilaku kasar dan bullying yang sering dilakukannya terhadap anak-anak yang dianggap lemah. Ainun dan Fitri merasa cemas, tapi mereka tetap berusaha berjalan bersama, meskipun ketegangan semakin terasa.
Suatu hari, setelah pelajaran olahraga, Ainun dan Fitri sedang duduk di pinggir lapangan, beristirahat. Tiba-tiba, Dila mendekat dengan beberapa temannya. Tanpa banyak bicara, Dila langsung mengolok-olok penampilan Fitri yang terlihat kotor setelah latihan. Fitri hanya bisa menunduk, menggigit bibir, dan berharap kejadian itu cepat berlalu.
Namun, Ainun yang biasanya melindungi Fitri, justru berdiri dan berbicara dengan nada tegas, “Jangan ganggu Fitri!”
Dila tertawa keras, lalu menatap Ainun dengan tatapan meremehkan. “Kenapa? Kamu pikir bisa melawan kami?” kata Dila sambil melangkah mendekat, mengancam. Teman-temannya juga mulai mengelilingi mereka, siap untuk membuat keributan.
Ainun merasakan ketakutan yang besar, dan saat itu ia tahu bahwa mereka berdua dalam bahaya. Keadaan yang semakin panas membuat Ainun merasakan dilema besar. Tiba-tiba, dia merasa ada sesuatu yang harus dilakukan untuk menyelamatkan dirinya sendiri, bahkan jika itu berarti mengorbankan Fitri.
“Kalau kalian mau berhenti, biar aku yang akan ikut kalian,” ujar Ainun dengan suara berat, sambil menunduk. “Jangan ganggu Fitri lagi.”
Fitri menatap sahabatnya dengan penuh kebingungan dan ketidakpercayaan. “Ainun, apa yang kamu katakan? Kamu… kamu nggak bisa begitu!” Fitri hampir menangis, merasa dikhianati oleh orang yang selama ini selalu ada untuknya.
Namun, Ainun, dengan wajah tegang, terus berbicara pada Dila, “Aku akan jadi bagian dari kelompok kalian, asalkan kalian berhenti ganggu Fitri. Biarkan dia sendiri.”
Dila tersenyum licik. “Tahu saja kamu apa yang harus dilakukan,” katanya, sebelum berbalik pergi bersama teman-temannya.
Fitri terdiam, merasa hatinya hancur. Sahabat yang selalu dia percayai, yang selalu menjadi pelindungnya, kini justru menyerah pada ancaman untuk melindungi dirinya sendiri. Ainun berjalan menjauh dengan perasaan berat, namun rasa takut akan Dimas dan teman-temannya lebih menguasai dirinya.
Malam itu, Fitri duduk sendirian di kamar, menangis tanpa suara. Ia merasa kehilangan. Bukan hanya karena Ainun tidak melindunginya, tetapi karena ia menyadari bahwa persahabatan mereka selama ini ternyata tidak cukup kuat untuk bertahan melawan rasa takut. Fitri merasa lebih sendirian daripada sebelumnya.
Keesokan harinya, Ainun mencoba mendekati Fitri, mengharap maaf. “Fitri, aku… aku cuman takut. Aku nggak ingin kita berdua jadi sasaran mereka. Aku hanya berpikir tentang keselamatan kita.”
Fitri menatap Ainun dengan mata yang penuh air mata, namun ia tidak bisa lagi melihat Ainun dengan cara yang sama. “Kamu sudah membuat pilihanmu, Ainun,” jawab Fitri pelan, suara hati yang terluka terdengar jelas. “Kita bukan lagi sahabat.”
Ainun terdiam, menyesali pilihan yang sudah dia buat. Di satu sisi, ia ingin mengubah semuanya, tapi ia tahu bahwa apa yang telah terjadi tak bisa dibalikkan lagi. Ia telah mengkhianati Fitri demi keselamatannya sendiri.
Mereka berdua berjalan di jalan yang berbeda, dan meskipun Ainun masih merindukan persahabatan mereka, ia tahu bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang tak akan pernah bisa ia dapatkan lagi yaitu kepercayaan Fitri.