Nama: Zainal Takdir Basir T
Jurusan: Hukum Tata Negara Islam
Semester: I
Di Pesantren Al-Mujtahid, jam malam adalah peraturan yang paling ketat. Semua santri harus kembali ke asrama tepat pukul 9 malam. Setelah itu, gerbang pesantren dikunci, dan siapa pun yang kedapatan masih berkeliaran akan dikenai hukuman berat. Namun, bagi Fadil dan geng kecilnya Amir, Hamzah, dan Taufik jam malam lebih seperti tantangan.
“Malam ini kita keluar, cari gorengan di warung Bu Lina,” bisik Fadil di kamar asrama.
Amir, yang biasanya penakut, menelan ludah. “Kau yakin, Dil? Kalau ketahuan, kita bisa disuruh cuci kamar mandi sebulan!”
“Tenang saja. Aku sudah memikirkan semuanya,” jawab Fadil, matanya penuh semangat.
Hamzah dan Taufik, yang sudah terbiasa ikut aksi Fadil, langsung setuju. Setelah lampu asrama dimatikan, mereka menyelinap keluar dengan hati-hati. Fadil memimpin jalan, sambil memastikan tidak ada pengurus pesantren yang berjaga.
“Pelan-pelan, jangan sampai sandalmu berbunyi,” bisik Fadil ke Taufik yang hampir tersandung.
Setelah berhasil melewati halaman asrama, mereka tiba di pagar samping pesantren. Pagar itu memang rendah, dan sebelumnya Fadil sudah menyiapkan kain untuk membantu mereka memanjat.
“Cepat, sebelum Pak Ustaz patroli,” kata Fadil sambil memanjat lebih dulu.
Satu per satu, mereka berhasil keluar dari area pesantren. Di luar, suasana malam terasa berbeda—tenang, tetapi penuh adrenalin. Mereka berjalan menuju warung Bu Lina yang terletak di ujung jalan.
Ketika sampai, Bu Lina yang sedang membereskan dagangannya memandang heran. “Eh, kalian santri, kan? Kok malam-malam di sini?”
“Kami cuma lapar, Bu,” jawab Hamzah sambil tersenyum lebar.
Bu Lina menggeleng, tetapi tetap melayani mereka. Satu persatu gorengan panas disajikan. Fadil dan teman-temannya makan dengan lahap, seolah lupa pada risiko yang mengintai.
Namun, saat mereka sedang asyik makan, terdengar suara langkah kaki berat di luar warung. Tiba-tiba, bayangan besar muncul di pintu.
“Fadil! Hamzah! Apa yang kalian lakukan di sini?”
Itu suara Pak Ustaz Hasan, pengawas asrama yang terkenal galak. Wajahnya terlihat tegas, tetapi matanya penuh kekecewaan.
“Ustaz… kami…” Fadil mencoba menjelaskan, tetapi tidak ada alasan yang cukup bagus untuk membela mereka.
“Bayar gorengan kalian, dan langsung kembali ke pesantren. Saya akan menunggu di gerbang,” kata Ustaz Hasan singkat.
Dalam perjalanan kembali, suasana hening. Tidak ada yang berani berbicara. Ketika mereka tiba di pesantren, Ustaz Hasan sudah berdiri di depan gerbang dengan tangan terlipat.
“Kalian tahu ini pelanggaran serius. Apa kalian tidak menghargai peraturan?” tanyanya dengan nada dingin.
Fadil dan teman-temannya hanya bisa menunduk.
“Kalian akan dihukum membersihkan aula selama dua minggu. Tapi lebih dari itu, saya ingin kalian belajar bahwa peraturan ada untuk melindungi kalian. Kalau terjadi apa-apa di luar tadi, siapa yang akan bertanggung jawab?”
Kata-kata Ustaz Hasan membuat mereka merenung. Mereka memang hanya mencari kesenangan sesaat, tetapi lupa bahwa pesantren memiliki aturan untuk kebaikan mereka sendiri.
Dua minggu hukuman terasa berat, tetapi selama membersihkan aula, Fadil dan teman-temannya belajar untuk lebih disiplin. Meskipun perburuan gorengan malam itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan, mereka sepakat untuk tidak mengulanginya lagi.
Dan setiap kali jam malam tiba, Fadil kini lebih memilih tidur awal, mengingat betapa mahalnya harga kebebasan yang pernah mereka ambil.