Nama: Nadjwa Nurul Awalia
Jurusan: Sejarah Peradaban Islam
Semester: I
Pernah dengar Statement tentang anak perempuan lebih cenderung dekat dengan ayahnya? Itu tidak berlaku dengan aku (Gisya) dan adikku (Kayla). Aku melihat ayah yang tiap hari hanya marah-marah, pulang dari kantor ayah datang dalam keadaan marah, lihat rumah sedikit berantakan ayah selalu marah.
Aku dan adikku Kayla selalu salah di matanya, dan membuat ayah emosi. Setiap hari pertengkaran terus terjadi, ada saja yang membuat ayah marah kepada kami. Entah itu rumah berantakan, menyapu tidak bersih, lambat mengangkat telpon, dan lainnya.
Keadaan itu yang membuat kami sangat takut sosok ayah, dengar suara motor ayah dari jauh saja sudah membuat kami berlarian tak tahu arah. Itulah yang membuat aku dan adikku selalu sungkan untuk bercerita dengan ayah seperti teman-temanku yang lain. Jangankan bercanda, berbicara dengan ayah pun jarang terjadi, kami selalu menutup diri dengan ayah.
Suatu kejadian merubah hidupku dan pandanganku tentang ayah. Saat kelas 2 SMP aku merasa aneh dengan diriku yang tidak seperti biasanya. Akhir-akhir ini aku gampang capek, sesak napas, bahkan sering pingsan.
Keadaan itu berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Aku sudah tidak tahan lagi aku ingin memberi tahu ke ayah soal itu, namun aku belum berani, tapi lambat laun ayah pasti akan mengetahuinya.
Aku memberanikan diri untuk datang ke ayah dan memberi tahu ayah tentang penyakitku. Sebelum itu guruku sudah memberi tahu ayah. Ayah yang mengetahui itu langsung syok dan tidak percaya, yang ayah tau aku baik-baik aja di sekolah.
Ayah langsung mengantarkan aku ke dokter. Dokter itu teman ayah yang sudah lama ayah kenal. Aku diperiksa di situ dan ternyata aku didiagnosa mengidap penyakit infeksi saluran pernapasan.
Mendengar hal aku pun langsung syok, serasa duniaku berhenti sejenak dan timbul pikiran negatif dalam benakku. Ayah yang saat itu juga kaget tapi tetap berusaha menguatkan ku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Dokter bisa saja salah mendiagnosa, berserah diri kepada Allah itu yang utama”. Kalimat terkesan yang pertama kali aku dengar dari ayah ku. Ayah langsung membawaku pulang untuk istirahat.
Saat itu beban ayah bertambah. Ayah yang tadinya selalu mengantar dan menjemput aku dan adikku ke sekolah sekarang ayah harus membagi waktu mengurusku di rumah, lalu mengantar adikku dan menjemputnya lagi. Karna ibuku sudah meninggal dua tahun lalu, ayah menjadi single parents yang mengurus aku dan adikku karena ibuku sudah tidak ada sejak dua tahun yang lalu.
Ayah lebih mementingkan capek fisik, tenaga, energi, dan keuangannya semua untuk aku dan adikku. Ayah juga tidak perna membiarkan dan memberikan kami kepada orang asing untuk mengurus bahkan keluarga sekalipun selagi ayah masih bisa melakukannya.
Dengan penuh kesadaran aku mulai tahu bahwa selama ini ayah selalu memprioritaskan kami dengan sebaik-baiknya, aku malah egois sudah berpikiran yang buruk sama ayah.
Pandanganku terhadap ayah seketika berubah. Aku melihat ayah bukan sebagai sosok yang menakutkan, melainkan seorang yang menjadi garda terdepan untuk kedua putrinya.