Home CERPEN Srikandi dalam Jejak Hukum

Srikandi dalam Jejak Hukum

22
0

Nama: Musfira Fahma Amalia
Jurusan: Perbandingan mazhab
Semester: I

Di tengah gemerlap Kota Madiun yang penuh dinamika, seorang perempuan muda bernama Rafalia Amirah berdiri kokoh di atas panggung dunia hukum. Ia tak hanya dikenal sebagai pengacara muda yang cemerlang, tetapi juga sebagai perempuan yang memadukan elegansi dengan keberanian. Di balik gamis hitam dan jilbab yg senada yang ia kenakan, Rafalia menyimpan dua keahlian luar biasa: pencak silat dan memanah. Dua hobi yang menjadi simbol ketangguhan sekaligus ketekunan yang menyertainya dalam memperjuangkan keadilan.

Namun, kejayaan Rafalia di dunia hukum tak datang tanpa luka. Di balik sorot matanya yang tajam dan langkahnya yang anggun, tersimpan dua kisah duka mendalam—kehilangan dua kakaknya dalam tragedi yang berbeda.

Flashback on

Dua belas tahun lalu, kakaknya, fadhil, meninggal dunia karena disantet. Rasa duka itu diperparah oleh ketidakmampuan hukum untuk menyentuh hal-hal gaib seperti itu. Ayahnya sering berkata, “Facta sunt potentiora verbis—bukti lebih kuat dari kata-kata.”
Sayangnya, bukti itu tak pernah ada. Luka itu baru sedikit memudar ketika tragedi lain menimpa kakak laki-lakinya, vano

Vano tewas mengenaskan karena berselisih dengan seorang tetangga kaya raya. Seekor sapi yang merusak sawah keluarga mereka memicu pertikaian. Ketika vano mencoba membela hak keluarga, ia dihabisi secara keji oleh suruhan tetangga tersebut. Meski keluarga Rafalia tahu siapa otak di balik pembunuhan itu, hukum hanya menjatuhkan hukuman ringan pada pelaku. Ketidakadilan ini menghancurkan hati Rafalia.

Flashback of dan
Membuka luka lama

Dalam ruang kerjanya yang megah, diterangi lampu gantung kristal dan dihiasi rak-rak penuh kitab hukum serta Al-Qur’an, ia memulai kembali perjuangannya untuk membuka kasus kematian vano.

Vano tidak hanya kakakku,” katanya kepada Pak Revan, mentornya. “Dia adalah inspirasi keberanianku. Jika hukum adalah pena, maka aku ingin menulis puisi keadilan untuknya.”

Pak Revan menatap Rafalia dengan kagum. “Keberanianmu adalah cahaya di dunia hukum yang sering kali gelap. Aku akan mendukungmu.”

Dengan bantuan Pak Revan, Rafalia menyusun ulang potongan-potongan bukti yang telah lama terkubur. Ia menemui saksi yang dulu bungkam karena ancaman, mempelajari celah hukum, dan mengandalkan kekuatan doa di setiap langkahnya.
Persidangan yg menggetarkan

Di ruang sidang yang megah, dengan dinding marmer dan pilar-pilar besar, Rafalia berdiri seperti seorang ratu perang. Balutan setelan hitam dengan detail emas di kerahnya membuatnya tampak mempesona. Namun bukan hanya penampilannya yang menarik perhatian, melainkan suara lantangnya yang menggema, membawa kebenaran ke tengah keheningan.

“Yang Mulia,” ucapnya tegas, “saya tidak berbicara sebagai pengacara hari ini. Saya berbicara sebagai seorang saudara, seorang saksi atas ketidakadilan yang merenggut nyawa orang yang saya cintai. Ini adalah kesempatan terakhir untuk membuktikan bahwa hukum masih memiliki arti.”

Saat ia mengungkapkan fakta demi fakta, termasuk kesaksian seorang mantan pelayan yang akhirnya memberanikan diri bersuara, ruangan itu berubah sunyi. Hakim, jaksa, dan penonton mendengarkan dalam diam, terpaku oleh keteguhan dan keberanian Rafalia.

Ketukan palu hakim akhirnya memecah keheningan. “Terdakwa dinyatakan bersalah. Hukuman penjara seumur hidup dijatuhkan kepada pelaku utama, dan hukuman 25 tahun kepada pihak yang mendukung tindakan kejahatan ini.”

Sorak sorai kecil terdengar dari keluarga korban. Rafalia hanya tersenyum tipis, merasa lega namun tetap anggun.

Ziarah dua jiwa

Setelah sidang selesai, Rafalia meluangkan waktu untuk mengunjungi makam kedua kakaknya. Ia mengenakan gamis hitam sederhana dengan kerudung panjang membawa dua buket mawar putih di tangannya.

Ia berhenti terlebih dahulu di makam vano, Meletakkan mawar di atas nisan, ia berlutut sambil mengusap lembut tulisan nama kakaknya. “Kak vano, aku sudah memenuhi janjiku. Keadilan akhirnya datang untukmu. Semoga kakak tenang di sisi-Nya.”

Air matanya jatuh perlahan, mengalir di pipi. Ia memanjatkan doa panjang, berharap perjuangannya menjadi pelipur lara untuk arwah kakaknya.

Kemudian, ia melangkah ke makam Fadhil, Angin sore berhembus lembut saat ia berlutut di depan makam itu.

“Bang Fadhil,” bisiknya pelan, “aku tahu Abang tidak bisa mendapat keadilan di dunia, tapi aku berharap Abang mendapat tempat terbaik di sisi Allah. Semua ini untuk Abang dan abang vano.
“Aku rindu kalian, seperti doa yang tak terjawab, terhenti di langit yang penuh harapan, menunggu pertemuan di surga-Nya.”

Ia meletakkan mawar terakhir di atas makam Fadhil, lalu menutup matanya sejenak, membiarkan rasa rindu dan haru menguasai dirinya.

Akhir yang menjadi awal

Ketika meninggalkan pemakaman, matahari mulai tenggelam, memancarkan warna keemasan di langit. Rafalia berhenti sejenak, menatap langit dengan senyum tipis.

“Dunia ini penuh dengan luka, tapi aku akan menjadi penawarnya,” gumamnya.

Ia melangkah pergi, membawa keanggunan dan keteguhan seorang Srikandi modern—perempuan sholehah yang menjadikan hukum sebagai alat untuk menulis puisi keadilan di tengah dunia yang sering kali gelap.

Previous articleNajmataani Fil Qolbi
Next articleMeneladani Cahaya Sayyidah Fatimah di Era Modern: Antara Syariat, Tren, dan Esensi Ketaatan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here