Oleh: Nur Syam Solehah
Wartawan LPM Qalamun
Hari itu pasar tradisional ramai seperti biasa—suara tawar-menawar, aroma rempah, dan kain warna-warni yang tergantung berayun tertiup angin. Aku tidak berniat berlama-lama di sana. Hanya sekadar lewat, mencari suasana baru. Namun langkahku terhenti begitu mataku menangkap sosok yang begitu kukenal….
Ia berdiri di salah satu kios, memperhatikan hiasan kayu kecil dengan wajah tenang. Beberapa anak kecil berlarian di sekitarnya, tapi ia tetap fokus. Matanya teduh, wajahnya diterpa cahaya matahari pagi yang menembus sela-sela atap pasar. Ada sesuatu yang sederhana sekaligus sulit dijelaskan—sesuatu yang membuatku terdiam beberapa detik.
Aku segera berpaling. Entah kenapa aku ingin menghindar. Bukan karena benci, bukan pula takut. Hanya ada perasaan asing yang tiba-tiba menyerang—seperti gelombang kecil yang datang tanpa aba-aba. Maka aku melangkah cepat, masuk ke sebuah toko kecil di sudut pasar.
Di dalam, aroma kayu menyeruak hangat. Ada gantungan kunci, ukiran, dan beberapa pernak-pernik sederhana yang tersusun rapi. Pandanganku jatuh pada satu gantungan kunci berbentuk matahari, terbuat dari kayu dengan guratan kasar namun hangat. Entah kenapa aku terdiam.
“Bagus loh, Den… buat istrinya,” suara pemilik toko memecah lamunanku.
Aku menoleh kaget. Namun keterkejutanku semakin bertambah saat sadar… ia berdiri tak jauh dariku. Ia tengah melihat ukiran di sisi lain, lalu pandangannya terangkat—bertemu dengan mataku.
Beberapa detik terasa begitu panjang. Ada canggung yang menggantung di udara. Seakan pasar yang ramai mendadak sunyi. Aku buru-buru memberi penjelasan.
“Ah… b-bukan… dia bukan… istriku,” suaraku tercekat, lalu cepat-cepat kuperbaiki, “saya belum menikah, Bu.”
Wajahku panas. Sedangkan dia… hanya tersenyum samar. Senyum yang entah bagaimana membuat kupu-kupu berkumpul di perutku.
—
Senin itu, kelas mendadak kualihkan jadi kelas mandiri. Ada urusan yang tak bisa kutunda—menemani kakek di rumah sakit. Baru malamnya aku menuliskan kabar di grup kelas, meminta maaf dan menjanjikan kelas pengganti pada hari Selasa. Kali ini berbeda: outdoor, di dermaga pinggir pantai.
Menjelang sore, pesan-pesan izin mulai bermunculan. Kanopus dan Bintang sibuk menyelesaikan skripsi. Andromeda, Libra, dan Altair ada urusan keluarga. Tersisa dua yang belum berkabar: Leo… dan si bintang dengan sinar teduh, Adhara.
Aku menatap layar ponsel, lalu menengadah ke langit. Mendung perlahan merambat, menutup biru yang sempat benderang. Semangatku ciut. Mungkin dermaga ini hanya akan jadi temanku sore ini, bersama angin asin dan suara ombak kecil.
Namun, aku tak menyangka. Di ujung dermaga, tepat di samping kanvas yang berdiri goyah diterpa angin, ada sosok dengan payung hitam—Adhara. Sigap menyambut tetes hujan yang malu-malu, ia berdiri tenang, seolah hujan memang diciptakan untuk menemuinya.
Aku melangkah perlahan, menenangkan debar di dada. Lalu, entah bagaimana, dunia memberi kami ruang. Percakapan hangat mengalir—tentang cita-cita, tentang dunia yang ingin ia jelajahi, tentang mimpi-mimpi yang ia dekap dengan mata berbinar, sesekali menatap lukisan yang hampir selesai.
“Aku ingin menjelajahi dunia… lalu mengabadikannya di kanvasku,” ucap Adhara sambil menyelesaikan mercusuar di lukisannya.
Tawanya kecil, tapi aku tahu itu bukan sekadar gurauan. Ada dinding halus yang ia pasang, seakan ingin mengatakan ia tak siap berhenti. Tak siap hanya singgah lalu menetap bersama seseorang.
Aku menatapnya lekat, dan sadar betul:
“Aku mungkin bukanlah orang yang selama ini ia pinta pada semesta.”
Senja kian meredup. Lukisan kami selesai hampir bersamaan dengan reda hujan. Langit memberi jalan untuk pelangi. Kami menatapnya bersama, tanpa suara, hanya dalam. Semesta pasti tahu—ada doa yang diam-diam terucap dari kami berdua.
Aku berdoa dalam hati:
“Semoga Adhara bisa terbang meraih mimpinya… bukan seperti layang-layang yang terikat pada tali, terbatas, dan rapuh.”
Beberapa detik hening. Adhara menatap lukisannya, lalu menoleh padaku. Wajahnya teduh, tapi ada sesuatu berbeda di matanya.
“Setelah badai, pelangi datang…” ucapnya lirih. Ada jeda panjang, seolah dunia menahan napas.
“…lalu pergi.” Ia tersenyum getir, kembali menatap langit.
—
Malam itu aku tak bisa tidur. Pikiranku kembali pada dermaga. Aku tahu, aku tidak gagal. Bahkan aku belum sempat berperang. Semuanya sudah selesai sebelum dimulai. Bukan karena aku pengecut—aku hanya tak ingin menjadi sesuatu yang menghambat langkahnya.
Pagi itu aku terlambat masuk kelas. Hanya enam orang yang hadir. Aku tersenyum, memandu mereka dengan sisa energi. Tidak ada skenario tambahan, tidak ada kejutan. Hanya kelas penutup, sesederhana itu.
Namun menjelang bubar, sebuah kalimat membuat langkahku terhenti.
“Terima kasih banyak, Kak, sudah membimbing kami,” ucap Libra. “Sebelum pulang, fotbar yuk! Sayangnya… Adhara sudah balik ke Kalimantan.”
Aku terdiam. Jadi, itu maksud tatapan kemarin sore… maksud kata-katanya tentang pelangi. Bahwa setelah badai, ia memang datang—lalu pergi.
Setelah semua pulang, aku berdiri sendirian di studio. Sunyi. Ada satu kanvas di sudut ruangan masih tertutup kain putih. Dengan ragu, aku menghampirinya, lalu membuka penutupnya.
Mataku membeku. Lukisan itu… seorang laki-laki duduk di bangku taman, hujan turun di sekelilingnya. Tidak ada siapa-siapa. Hanya dirinya dan payung transparan yang menemaninya.
Aku menghela napas panjang. Pada akhirnya aku sadar—hujan, pelangi, mendung, hari-hari suram, juga hari-hari cerah hanyalah siklus kehidupan. Aku berharap semua ini bisa berlalu. Bahwa waktuku kembali, seperti langit yang selalu berganti. Tapi kenyataannya, aku masih merindukan senja itu. Senja yang tak akan kembali, hujan kecil yang menemaninya, juga sosok teduh dengan kotak pensil tua.
Maka kutuliskan semua ini. Bukan untuk mengulang, tapi agar suatu hari aku bisa benar-benar melepaskan, tidak menyesali apa yang tak sempat kumulai.
Untukmu, yang membaca kisah ini… kuharap kau sadar, bahwa hari-hari buruk, perubahan cuaca, juga alur kehidupan—semuanya berjalan sesuai kehendak Sang Pencipta. Tidak mungkin terjadi tanpa alasan.
Dan jika suatu hari kau menemukan pelangi setelah badai, ingatlah… ia memang indah. Tapi jangan lupa, pelangi memang diciptakan untuk datang—dan kemudian pergi.
AAR
—
Tangannya sedikit gemetar setelah membaca lima lembar kisah dari botol kaca itu. Pasir masih melekat di sisinya, seolah laut sendiri yang menitipkannya ke tepi pantai. Ia menatapnya sebentar—matahari memantulkan kilau samar pada permukaan kaca yang kusam.
Perlahan, ia melipat kembali lembar demi lembar, lalu menutup botol itu.
Semua kisah itu seakan berbicara langsung padanya—tentang lelah, tentang rindu, tentang risau yang tak pernah selesai. Ia berhenti sejenak, merasakan sesuatu yang hangat mengalir di dadanya. Seakan dunia ingin mengingatkan, bahwa hujan, pelangi, bahkan senja hanyalah siklus. Namun rasa… sering kali memilih bertahan.
Sebelum beranjak, ia menyipitkan mata, menatap inisial di ujung kertas.
“Sepertinya aku pernah melihat inisial ini di suatu tempat.”