Karya : Muhammad Nur Hidayat
Jurusan : Pendidikan Bahasa Arab
Semseter : 3
#part1
“Waktu begitu cepat berlalu, melesat begitu cepat bagai anak panah yang keluar dari busur, menerobos apapun yang ada di hadapannya.”
Begitulah ucap seorang bocah SMA yang rambutnya terpaksa buzz cut karena menjadi korban razia rambut kepada kawannya yang sedang berkumpul di meja bundar kantin. Sungguh gaya rambut itu tidak cocok dengan dahinya yang lebar dan tinggi. Meja hijau itu dikelilingi 3 orang yang sedang berpakaian putih abu-abu; Rayan, Upik, dan Imon.
“Lu mabok M+Susu, Gundul?” ledek Imon sambil mengetuk jidat lebar Rayan.
“Seperti biasa, kalo gak gila bukan Rayan namanya,” ledek Upik setelah menyedot minuman rasa Taronya.
“Ya Ilah, orang gila juga bisa serius, kali. Sumpah, gue gak nyangka bakal secepat ini. Lu bedua entar lagi lulus, trus gue sendirian di sekolah jelek ini,” ucap Rayan dengan makian kepada sekolah yang sudah membuat kepalanya jadi seperti pakai helm setiap saat.
“Lah, siapa suruh lahir telat, dek,” Imon kembali mengejek Rayan.
“Yan, sedih lu mending simpan dulu. Toh, kita masih punya 2 bulan, mending kita nikmatin,” nasihat Upik pada adik kelas yang sekaligus kawannya.
“Seminggu sebelum lu berdua prom night kita camping, yuk! Bener-bener kita bertiga doang, quality time,” ajak Rayan.
“Yeeee, sok Inggris. Gue sih gas. Lu gimana , Pik?” tanya Imon.
“Temen macam apa sih gua kalo nolak? Ya gas lahhhhh,” jawab Upik.
Sepulang sekolah mereka kembali ke rumah mereka masing-masing, Upik dengan motor bebeknya yang ditumpangi oleh Kina, kekasihnya. Imon yang nebeng di motor matic Rayan. Setiap hari begitu, Rayan selalu menjemput dan mengantar Imon karena jarak rumah mereka yang tidak begitu jauh. Momen itulah yang membuat Rayan jatuh pada wanita berambut panjang, beralis tebal, berlesung pipi, bermata cokelat yang sekaligus kawan dan kakak kelasnya.
Bagaimana tidak?
Sudah banyak cerita yang mereka bagi diatas jok motor Rayan, entah itu film favorit mereka, isi playlist mereka, keadaan keluarga mereka, bahkan tentang pria dambaan Imon yang membuat Rayan selalu ingin menabrakkan motor saat mendengar nama pria itu. Tapi Rayan selalu siap untuk menjadi telinga bagi Imon, tanpa lelah, tanpa keluh. Hal itu juga yang menjadikan mereka sepasang duo dalam lingkaran pertemanan berisi tiga orang, mungkin dalam setiap lingkaran pertemanan tiga orang selalu ada duo didalamnya.
Rayan adalah lelaki bersuara merdu dan pandai memetik gitar yang sedang duduk di bangku kelas XI jurusan MIPA, sedangkan kedua kawannya di kelas XII jurusan IPS. Sebuah lingkaran pertemanan yang terbilang langkah karena diisi oleh senior dan junior dari jurusan yang berbeda, sifat yang sangat jauh berbeda. Selera musik yang sama adalah hal yang melahirkan lingkaran pertemanan mereka.
Saat itu Upik dan Imon masih duduk di kelas XI, Rayan Kelas X. Saat itu juga Sheila on 7 akan manggung di kota mereka entah dalam festival apa, toh, siapa peduli? Asalkan band favorit yang akan tampil, tidak perlu pikir panjang untuk beli tiket. Tidak sulit bagi Upik untuk harus susah payah war tiket, ia memiliki kekuatan orang dalam.
Kala itu Upik sudah beli tiket untuk 3 orang; Imon, Galu, dan Ia sendiri. Galu yang adalah sepupu Upik yang numpang tinggal dirumahnya harus batal ikut nonton karena harus kembali ke kampung setelah ibunya menelepon bahwa ayahnya jatuh sakit. Supaya tidak tekor, Upik langsung menjual tiketnya di instastorynya, belum genap 2 menit terupload, sudah ada balasan dari Rayan yang ingin membeli. Tanpa negosiasi Rayan langsung mentrasfer uangnya ke dompet elektronik Upik, lalu Upik membuat Grup Whatsapp yang berisikan mereka bertiga.
Pengingat di kalender berdering dan bulan bertengger tepat diatas Kotakita, menandakan konser akan segera di meriahkan. Imon yang sudah selesai bersiap meminta tolong untuk dijemput dan pergi bersama ke tempat konser, sedangkan Rayan baru saja selesai menyisir rambut hitam tebalnya kearah kanan, seperti anak SMA biasa pada umumnya.
Begitulah Rayan, tipikal bocah SMA yang biasa saja dan tidak menjadi perhatian bagi orang lain, orang baru tidak akan mengingatnya bahwa pernah berpapasan dengannya di tempat umum, bahkan tidak ada orang yang ingat betul bahwa di pergelangan tangan kirinya ada bekas luka keloid, akibat bermain lelehan sedotan plastik yang ia bakar saat masih duduk di bangku SMP. Tipikal manusia yang tidak mencolok, hanya menjadi “NPC” dalam kisah kehidupan orang lain, tak ada yang bisa ia banggakan selain kemampuan memetik gitar, suara merdu, dan sedikit keahliannya dalam bermain diksi.
Ia telah memasuki mode tampan, baterai gawainya juga sudah penuh dan siap mengabadikan momen-momennya menonton band favoritnya bersama 2 homo sapiens yang selama ini hanya mutual di instagram dengannya, sebelumnya belum pernah berkomunikasi selain saat ia membeli tiket dan mengobrol kecil-kecilan di dalam grup. Segera ia menyalakan motor matic hijaunya dan menjemput Imon. Untuk pertama kalinya, jok motornya di isi oleh homo sapiens yang berjenis kelamin betina.
Demi apapun itu, Rayan rela bersumpah bahwa sungguh ia gugup karena harus membonceng senior yang cukup populer di sekolahnya. Sedangkan baginya, dirinya hanya sebiji pasir diantara ribuan bunga dan lebah di sekolah.
Ia berhenti tepat di titik lokasi yang diberikan Imon melalui Whatsapp. Imon keluar dari rumahnya dengan celana corduroy cream dikombinasikan bersama crewneck bergaris cokelat dan putih, pada saat itu juga Rayan percaya bahwa mitos jatuh cinta pada pandangan pertama bukanlah mitos belaka, Rayan tenggelam pada kibasan rambut Imon saat ingin mengenakan helmnya. Dalam kepalanya ia seperti sedang mengucapkan Tampaknya tuhan benar-benar serius saat mengukir manusia yang satu ini.
“Tunggu apalagi? yuk, jalan” ujar Imon kaku.
“Eh, ayo” jawab Rayan kaget. “Bismillah,” doanya kecil setelah termenung beberapa saat karena matanya harus melihat paras cantik Imon.
Motornya melaju kencang, situasi Kotakita cukup ramai karena bertepatan dengan malam bahagia bagi banyak manusia, malam minggu. Hingga tangan Imon reflek berpegangan pada pinggangnya.
“Lah, lu udah punya cowok?” tanya tengil Rayan.
“Enggak, sih. Nge-crush doang,” jawab Imon.
“Trus ngapain pegangan, bego”
“Lu kenceng banget, GOBLOK”
Entah gerangan apa yang membuat Rayan bertanya hal seperti itu, entah gerangan apa Imon seterbuka itu pada orang yang baru ditemuinya.
Mereka bertiga bertemu dilapangan tempat konser di meriahkan. Manusia kala itu benar-benar padat. Lagu “Pria Kesepian” dikumandangkan sebagai lagu pembuka yang dinyanyikan SO7, mereka benar-benar menikmati euforia pada malam itu.
Dari sanalah semuanya bermula. Hari-hari Rayan yang biasa saja menjadi berwarna, ada Imon sebagai wanita dambaannya dan Upik sebagai kawan barunya.
Hari itu, di permukaan bumi, saat tanggal berkemah telah dimasuki. Seperti biasa, Rayan menjemput Imon dengan motor andalannya menuju rumah Upik sebagai titik kumpul mereka. Di rumahnya, Upik telah duduk didepan teras menunggu kedatangan mereka.
“Langsung gas?” tanya Imon.
“Gue jemput Kina dulu,” jawab Upik.
“Kina? Serius, Pik? kita janjinya bertiga doang, kan?” potong Rayan.
“Doi marah kalo kaga gue bolehin ikut, Yan. Gue juga gak pengen bawa doi, tapi yah mau gimana lagi, Yan”
“Udah, gapapa. Toh disana jadi ada cewek selain gue, Kan? gausah ngeluh, Yan. Gapapa, kok” lanjut Imon menyemangati Rayan.
“Ngeluh? gue? orang sekuat gue ngeluh? lu bedua gak salah?”
“Ya elah, baru ban motor lu bocor aja, lu udah jadi kek orang paling tersiksa dimuka bumi,” ledek Imon.
“Hoax, lagian gimana mungkin gue ngeluh kalo cuma karena kalian ego gue luluh,” ucap Rayan seperti seorang penyair sembari mengusap rambutnya yang sudah mulai tumbuh.
“Gak usah bacot, Botak. Pamit dulu ke bokap gue, terus kita langsung meluncur,” ujar Upik.
Tangan ayah Upik telah mereka cium, dan mereka melanjutkan perjalanan menjemput Kina, Pacar Upik. Di bangku depan pagar rumahnya, Kina telah menunggu dengan segala perlengkapannya. Saat ingin naik keatas motor, terlebih dahulu hidung Kina dicubit oleh dua jari Upik.
“Kita kapan kayak gitu, Mon?” tanya Rayan sembari melihat wajah Imon di spion motornya.
“Gue nyubit idung lo? gak, ah. Idung lo minyakan,” jawab Imon.
“Lu jadi cewek peka dikit, napa”
“Jangan gila deh, Yan”
Perjalanan menuju pantai kembali dilanjutkan. Ditengah perjalanan saat motor sedang melaju kencang, Imon mengeluh karena punggungnya pegal akibat menggendong gitar Rayan.
“Yan, ini gitar atau apaan sih? Berat bet,” tanya Imon dengan teriak.
“Apaa?” tanya balik oleh Rayan karena tidak mendengar suara Imon dengan jelas.
“Stop duluu!” perintah Imon
Rayan mengerem motornya, berhenti dibawah pohon mangga dipinggir jalan. Imon meminta agar dia yang mengendarai motor dan Rayan yang menggendong gitarnya.
“Pelan-pelan aja, Mon. Sambil kita nunggu Upik yang ketinggalan di belakang,” ucap Rayan
“Udah… percaya aja ama gue,” balas Imon.
Imon memutar penuh gas motor. Rayan benar-benar kaget, pasti ia terjatuh jika tidak pegangan di handle besi joknya. Bukannya Rayan penakut, hanya saja akhirnya dia menyadari bahwa sensasi melaju kencang ketika membonceng dan dibonceng sungguh berbeda.
“WAHAHA,” teriak Imon.
“YUHUU,” teriak Rayan yang tak mau kalah.