Home PUISI Menunggu Padam

Menunggu Padam

107
0

Nama : Muhammad Nur Hidayat
Jurusan : Pendidikan Bahasa Arab
Semester : IV

Tak semestinya saya merasa terluka. saya dan kamu memang tercipta di dunia yang berbeda. Di waktu yang tak sama. Di keadaan yang tak seharusnya. Di antara dinding besar yang menghalangi kita.

Meski salah satu dari kita berjuang hingga tubuh tak lagi kuat menopang, meski yang satunya lagi mencoba terus tanpa henti, mungkin kita memang tidak akan pernah bisa ada dalam satu cerita.

Hingga, Kemudian saya disini sendiri.

Menangis tanpa air mata. Tertawa tanpa rasa bahagia. Seperti kehadiran lampu jalanan yang tak lagi menyala. Tak punya siapa-siapa. Menunggu mati. Menunggu padam.

Pada akhirnya saya mengerti. Pertemuan kita hanyalah anak-anak tangga untuk menemukan bahagia. Seperti prakata-prakata singkat, begitulah kita berdua.

Hanya di batas cinta, namun tak berhak berkata-kata.
Hanya dibatas nyaman, namun tak boleh merangkai cerita bersama.
Hanya dibatas saling tahu, namun tak kuasa memberi tahu.
Hanya di batas dekat, namun tak bisa memeluk erat.
Hanya sebatas itu.
Sebatas kaca tipis di antara kita berdua.
Yang untuk memelukmu, saya harus memecahkannya dan melukai kita berdua.

Seharusnya saya tak seperti ini.
Tak semestinya saya merasa terluka.

Previous articleMawar yang Malang: 1
Next articleMengagumi, Terpesona, lalu Melepaskan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here