Nama: Aprilia Ayu Azhani
Jurusan: Hukum Keluarga
Semester: I
Aku adalah anak yang selamat dari gempa di tahun 2018. Saat itu, suasana petang terasa tenang. Waktu azan magrib berkumandang, aku sedang tiduran di kasur, menikmati beberapa menit sebelum beranjak salat. Tiba-tiba, aku merasakan tiupan angin yang kencang, disusul dengan guncangan hebat yang mengguncang seluruh rumah kami. Dunia seakan terbalik.
Dalam kepanikan itu, aku hanya bisa memeluk nenekku yang sudah sepuh. Di samping kami, kedua adikku terlihat bingung, mencoba mengerti apa yang sedang terjadi. Suara gemuruh dan retakan dinding terdengar, dan seolah-olah rumah kami hancur berkeping-keping, tak menyisakan sedikit pun. Semua kenangan indah di dalamnya seolah ikut sirna dalam sekejap.
Saat guncangan mulai mereda, rasa khawatir menguasai pikiranku. Aku teringat teman-temanku.
“Bagaimana jika mereka tidak selamat?”
Tanpa berpikir panjang, aku segera bergegas keluar rumah, berdoa dalam hati agar mereka dalam keadaan baik-baik saja. Aku memanggil-manggil nama mereka, tetapi tidak ada jawaban. Suasana seketika terasa sunyi dan mencekam.
Tiba-tiba, dari depan rumahku, terdengar suara teriakan. Aku berlari menuju suara itu, berharap menemui teman-temanku. Namun, apa yang kutemui membuatku terkejut. Guru mengajiku, bu Raisha, terbaring di tanah dengan kepalanya terluka akibat lemari yang jatuh. Instingku segera mengambil alih; aku berlari menghampirinya.
“Bu Raisha! Jangan khawatir, saya akan membantumu!”
Seruku sambil berusaha mengangkat tubuhnya. Dengan penuh hati-hati, aku membawanya menjauh dari reruntuhan rumahnya dan menyuruhnya untuk segera bergabung dengan nenekku yang masih di atas reruntuhan dihalaman rumahku.
“Ayo, bu! Kita harus mencari tempat aman!”
Kekhawatiran dan rasa panik mendorongku untuk bergerak cepat. Aku bisa melihat betapa sulitnya situasi ini. Rasa takut menyelimuti kami, tetapi rasa tanggung jawab untuk membantu orang-orang yang kami cintai jauh lebih besar. Berkat keberanian dan kerja sama, kami semua berhasil keluar dari bencana itu dan berkumpul di tempat yang lebih aman.
Setelah beberapa waktu, saat suasana mulai tenang, kami duduk bersama di atas rumah yang hancur. Nenekku menggenggam tanganku erat, sementara kedua adikku berada di dekat kami, saling berpelukan. Dalam kesedihan dan kehilangan, aku menyadari kekuatan keluarga dan persahabatan. Kami selamat, dan itu yang terpenting. Kini, meskipun kenangan akan gempa itu selalu membekas, aku bangga bisa berbagi cerita ini, tentang bagaimana kami melewati malam yang penuh tantangan dan menemukan harapan di balik reruntuhan.