Nama: Aulia Ramadhani Harmin
Jurusan: Perbankan Syariah
Semester: I
Aira tidak pernah menyangka bahwa pertemuan pertama mereka, di suatu hari yang tak istimewa, akan membuatnya jatuh sedalam ini. Saat pertama kali melihatnya, ia tak punya firasat bahwa sosok itu akan bersemayam begitu lama di dalam hatinya. Awalnya, ia hanya merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada daya tarik yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang membuat Aira penasaran, ingin tahu lebih jauh tentang sosok yang sering kali duduk sendirian.
Bukan karena pemuda itu populer dan suka bergaul dan memiliki banyak teman, justru sikapnya yang tenang, yang tak menghiraukan perhatian di sekelilingnya, membuat Aira terus memikirkannya. “Mungkin, ini hanya rasa penasaran,” pikirnya kala itu, mencoba meyakinkan hatinya. “Aku hanya ingin tahu siapa dia sebenarnya, mungkin besok aku akan melupakannya.”
Namun, hari demi hari berlalu, dan Aira menyadari bahwa ia tak bisa menganggapnya seperti angin lalu. Pemuda itu, dengan caranya sendiri, telah mengisi sudut kecil dalam pikirannya yang tak pernah kosong. Setiap hari, dari kejauhan, ia memperhatikan pemuda itu. Aira sadar bahwa ia harus menjaga jarak, untuk tidak berharap lebih dari yang seharusnya. Rasa takut itu kembali mengingatkan betapa berbahayanya jika ia berharap lebih.
Ia menyadari ada banyak hal yang membuatnya tidak bisa berpaling. Setiap gerak dan tatapan sosok itu bagaikan helaian angin yang perlahan menembus pikirannya. Diamnya mengundang, ketenangannya meneduhkan. Pemuda itu memiliki banyak hal yang tak ditampilkan pada dunia, seperti permata yang tersembunyi di balik lautan sunyi. Aira melihatnya dari jauh, terpesona pada ketulusan yang hanya bisa ia rasakan, seolah hatinya sendiri yang berbicara.
Hari-hari berlalu, dan Aira belajar menemukan kebahagiaan dalam mengamati setiap detail kecil. Ia memperhatikan bagaimana pemuda itu memperlakukan dunia sekitarnya. Kadang, ia melihat pemuda itu bercanda dengan teman-temannya, tersenyum dan tertawa, tampak begitu lepas. Aira mengamati dari sudut ruangan, seolah waktu terhenti saat ia melihat senyum itu. Dalam hati, ia membayangkan, “Bagaimana rasanya ada di sana? Bagaimana rasanya berbicara dan bercanda di dekatnya, merasakan kehangatan dan ketulusan yang kamu berikan pada teman-temanmu?”
Aira hanya bisa menduga-duga, merasakan sedikit kebahagiaan dari kejauhan. “Mungkin jika aku ada di dekatmu, aku juga akan tersenyum sehangat itu,” bisiknya dalam hati, merasakan sesuatu yang aneh sekaligus menyenangkan. Namun, ia sadar, tempatnya bukan di sana, bukan di dekat pemuda itu. Jadi ia kembali pada posisinya, mengamati dari kejauhan, menyimpan momen itu dalam ingatannya.
Setiap kali keinginan untuk mendekat muncul, rasa takut menyergapnya. “Apa yang akan kukatakan?” batinnya berbisik ragu. Bahkan, memikirkannya saja membuat pipinya merona. Aira menyadari bahwa perasaannya tak mungkin ia ungkapkan. Banyak orang yang mengagumi sosoknya, bahkan berusaha mendekat, namun pemuda itu selalu bersikap sama. Terkadang, ia berpura-pura tak tahu akan perhatian yang datang padanya, atau hanya menganggap semua hanya sebatas teman saja. “Aku hanya satu dari sekian banyak yang mengagumimu, bagaimana mungkin aku bisa berharap lebih?” bisiknya, mencoba meyakinkan diri bahwa memendam perasaan ini adalah pilihan terbaik, karena ia tahu, dia hanya fokus pada cita-citanya dan membanggakan kedua orang tuanya.
“Kenapa harus ada rasa seperti ini?” Aira bertanya pada dirinya sendiri. “Apakah ada keindahan dalam mencintai tanpa kata, tanpa suara?” Ia tahu jawabannya, karena di sanalah ia menemukan ketenangan. Ada dunia kecil dalam dirinya, tempat semua kenangan kecil itu tersimpan rapi. Senyum yang tak sering muncul, tatapan yang tak pernah ditujukan kepadanya, dan momen-momen yang hanya ada dalam ingatannya.
Namun, waktu terus berjalan, dan takdir akhirnya membawa mereka ke arah yang berbeda, mereka harus mengejar cita-cita dan melangkah ke tujuan hidup masing-masing. Hari-hari yang dulu ia lewati dengan mengamati dari kejauhan kini terasa semakin sunyi. Tak ada lagi kesempatan untuk sekadar memandang, atau mengingat setiap senyum kecilnya.
Sebuah cerita yang tak pernah dimulai, namun ia ingat semua detailnya. Semua senyum yang terukir, semua keheningan yang mengisi hari-hari, semua tawa yang diam-diam ia amati. Aira menyadari bahwa semua momen itu hanya tersimpan dalam hatinya seorang. Barangkali, memang ada cinta yang tak memerlukan suara, hanya perlu dihormati dalam kesenyapan. Dalam diam, ada keindahan yang tak akan pudar, dan dalam jiwa, ia tetap ada walau tak pernah dekat, walau tak pernah terungkap.
Di bawah langit yang dipenuhi bintang, Aira merenung dalam diam. Ia menyadari bahwa ia mungkin takkan pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkan semuanya. “Aku hanya mampu menyampaikan perasaan ini di sini, dalam cerita yang mungkin tak pernah kubagi dengan siapa pun,” batinnya. Meski tanpa kata yang terucap, perasaan itu tetap hidup, terus menyala dalam kesunyian.
Aku menyimpan semua ini, setiap cerita, setiap bayangan yang kujaga dalam hati. Anehnya, kenangan itu terasa nyata, seolah kita pernah menjalaninya bersama, meski tak pernah satu kata pun terucap. Setiap pertemuan yang kuingat, setiap senyum yang kurangkai sendiri, semua hanyalah kisah yang kupahat dalam sunyi.
Di dalam hati Aira, pemuda itu tetap abadi, bukan dalam kenyataan, tetapi dalam setiap baris cerita yang hanya ia sendiri yang membacanya. Kenangan yang tak pernah ada, cerita yang tak pernah dimulai, justru menjadi keindahan yang tak pernah usai. Dan, pada akhirnya, mungkin inilah satu-satunya cara aku bisa menyampaikan semuanya, karena dalam kisah yang tak pernah dimulai, ada keindahan yang tak pernah perlu berakhir.