Nama: Fitri Amalia
Jurusan: Perbankan Syariah
Semester: I
Naya Revina, siswi kelas 3 SMA, terkenal pintar dan berprestasi. Hampir setiap kompetisi yang diikutinya, ia selalu membawa pulang piala. Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang membuat hidupnya lebih berwarna: Firhan Pratama, adik kelasnya yang satu tingkat di bawahnya. Firhan bukan sekadar murid jurusan teknik mesin yang sibuk memperbaiki kendaraan di bengkel kakaknya. Bagi Naya, ia adalah pelengkap cerita hidupnya di kota rantau ini.
Sayangnya, kesibukan mereka perlahan menjadi jurang yang memisahkan. Ujian Nasional untuk Naya semakin dekat, sementara Firhan tenggelam dalam pekerjaannya di bengkel. Obrolan yang biasanya penuh canda dan tawa kini hanya lewat pesan singkat yang kadang tak sempat dibalas.
Suatu hari di sekolah, Firhan secara tak sengaja melihat Naya berbicara dengan teman laki-lakinya. Mata Firhan memancarkan kecemburuan yang sulit ia sembunyikan.
“Ehem,” Firhan berdeham, berdiri di dekat mereka.
Naya, yang terkejut, langsung menoleh. “Eh, Ayang!” serunya dengan senyum canggung. Ia segera menghampiri Firhan, meninggalkan teman laki-lakinya.
Mereka pergi bersama ke kantin, tapi sepanjang perjalanan Firhan hanya diam. Naya mencoba mencairkan suasana. “Ayang, tadi dari mana? Kok Naya nggak lihat?” tanyanya, menggenggam tangan Firhan.
“Enggak dari mana-mana,” jawab Firhan singkat.
Naya menatapnya dengan bingung. “Ayang kenapa sih? Kok dingin banget?” tanyanya, mencoba bersikap manja.
Firhan hanya menggeleng. “Enggak ada apa-apa.”
Meski terlihat dingin, Naya tahu Firhan hanya sedang cemburu. Ia tahu di balik sikap dingin Firhan, ada cinta yang tulus untuknya.
–
Sebulan berlalu. Ujian Nasional akhirnya selesai. Di hari terakhir ujian, Firhan dan Naya membuat janji untuk menghabiskan waktu bersama di taman hiburan malam itu.
Malamnya, Firhan menjemput Naya menggunakan sepeda motor. Di perjalanan, mereka tertawa dan bercanda seperti dulu, seolah melupakan kesibukan yang pernah membatasi mereka. Di taman hiburan, mereka berjalan-jalan, membeli makanan ringan, hingga akhirnya naik bianglala. Dari atas, mereka melihat gemerlap kota yang terasa begitu kecil di bawah sana.
Saat bianglala mencapai puncaknya, Naya memecah keheningan. “Aku mau bilang sesuatu,” ujarnya dengan suara pelan.
Firhan menoleh, tatapannya serius. “Mau ngomong apa, Sayang?”
Naya menunduk, lalu menatap kota yang gemerlap di bawah mereka. “Setelah pengumuman kelulusan, aku harus pulang ke kota asal. Orang tuaku nggak setuju aku kuliah di sini. Mereka ingin aku di dekat mereka.”
Firhan terdiam. Meski ia sudah menduga ini akan terjadi, mendengarnya langsung dari Naya membuat dadanya terasa sesak. “Kalau itu keputusan orang tuamu, aku nggak bisa melarang. Tapi… aku nggak tahu gimana rasanya nggak ada kamu di sini.”
Naya menatap Firhan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku juga nggak tahu gimana harus pisah sama kamu. Tapi… kita masih punya waktu sedikit lagi. Kita habiskan waktu itu untuk hal-hal yang menyenangkan, ya?”
Firhan mengangguk, meski hatinya enggan menerima kenyataan.
–
Hari pengumuman kelulusan tiba. Saat nama Naya disebut sebagai siswi dengan nilai tertinggi, tepuk tangan meriah memenuhi lapangan saat Naya maju ke depan. Firhan, yang berdiri di barisan kelas 2, tersenyum bangga.
“Selamat ya, Sayang. Aku bangga banget sama kamu,” bisiknya saat Naya kembali ke barisan.
Setelah upacara selesai, Firhan mengantar Naya pulang. Sepanjang perjalanan, Naya bercerita dengan penuh semangat tentang mimpinya. Namun, di balik tawa dan cerita itu, keduanya tahu bahwa waktu mereka bersama semakin sedikit.
–
Malam terakhir sebelum Naya pulang, Firhan membawanya ke pantai. Mereka duduk di atas pasir, menatap ombak yang tenang.
“Besok aku berangkat,” ucap Naya, memecah kesunyian.
Firhan menunduk, menggenggam tangan Naya erat-erat. “Kita nggak bisa terus seperti ini?” tanyanya, suaranya bergetar.
Naya menggeleng. “Kita nggak akan pernah bisa bersama, Firhan. Bukan hanya jarak yang memisahkan kita, tapi… juga iman kita.”
Firhan menatap Naya dengan tatapan sedih. Ia tahu apa yang dikatakan Naya adalah kenyataan yang tak bisa mereka lawan. “Aku nggak peduli soal itu. Aku cuma tahu aku sayang kamu.”
“Aku juga sayang kamu,” balas Naya dengan suara lirih. “Tapi terkadang, cinta aja nggak cukup. Kita harus berpisah, Firhan. Demi kebaikan kita.”
Air mata Naya akhirnya jatuh. Firhan menariknya ke dalam pelukan, mencoba menguatkan diri meski hatinya hancur, ia seolah ingin menghentikan waktu. Mereka duduk dalam keheningan, hanya suara ombak yang menemani malam terakhir mereka.
–
Esok harinya, Firhan datang ke kos Naya membawa sebuah boneka beruang kecil. “Ini buat kamu,” katanya sambil tersenyum tipis.
Naya menerimanya, memeluk boneka itu dengan erat. “Makasih, Firhan. Aku akan selalu ingat kamu.”
Firhan mengangguk. Ia mengelus kepala Naya untuk terakhir kalinya. “Hati-hati di perjalanan. Jaga kesehatan, ya.”
“Kamu juga,” jawab Naya, berusaha menahan tangis.
Saat mobil yang membawa Naya pergi, Firhan hanya berdiri, menatap hingga mobil itu tak lagi terlihat. Hatinya penuh luka, tapi ia tahu, inilah takdir mereka.
Mereka tidak pernah bertemu lagi setelah hari itu. Namun, kenangan tentang cinta mereka tetap hidup di hati masing-masing. Tuhan memiliki rencana yang lebih baik untuk mereka, meski saat itu mereka belum bisa memahaminya.
“Manusia memiliki rencana tetapi Tuhanlah yang menentukan takdir. Cinta sejati bukan tentang siapa yang bisa bersama, tapi siapa yang berani melepaskan demi kebaikan bersama”