Nama: Ridah
Jurusan: Akuntansi Syariah
Semester: I
Aurora Ridah Zetana adalah perempuan yang memikat, bukan hanya dari parasnya yang memancarkan pesona alami, tetapi dari tatapannya yang menyimpan misteri. Di kota yang sepi, di mana malam seringkali terasa lebih panjang, ia hidup sendirian di rumah besar peninggalan keluarganya. Sepi sudah menjadi sahabatnya sejak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil yang tragis.
Aurora jarang bergaul, tapi beberapa bulan terakhir, ada satu sosok yang berhasil menembus tembok kesendirian itu: Reza. Pria tampan yang awalnya tampak sempurna. Keduanya bertemu di sebuah kafe kecil ketika Aurora sedang menulis. Percakapan ringan berkembang menjadi perasaan yang lebih dalam. Reza memperlakukan Aurora dengan cara yang membuatnya merasa seperti satu-satunya wanita di dunia.
Namun, ada sesuatu tentang Reza yang terasa salah. Setiap kali mereka berbicara tentang masa lalunya, jawabannya selalu samar, seolah ada bagian dari dirinya yang sengaja disembunyikan. Aurora, yang terbiasa mengamati tanpa bicara, mulai merasakan ada yang ganjil. Tatapan matanya kadang terlalu tajam, seolah dia sedang mengawasi mangsa.
Malam itu, di dalam rumahnya yang sunyi, Aurora duduk di depan cermin kamar. Langit mendung, menambah kesan muram pada malam itu. Ponselnya berdering. Pesan dari Reza: “Aku di depan rumahmu. Aku ingin menunjukkan sesuatu.”
Dia merasa jantungnya berdegup kencang, tidak yakin apakah itu perasaan gembira atau takut. Pikirannya terbagi, tapi akhirnya ia berjalan ke jendela. Benar saja, Reza berdiri di sana, di bawah rintik hujan yang mulai turun. Aurora membuka pintu dengan enggan, meski ada keraguan yang tumbuh di dadanya.
“Aku ingin membawamu ke suatu tempat,” ucap Reza dengan suara yang terdengar tenang namun mengandung ancaman samar.
Aurora ragu. Namun, rasa penasaran mengalahkan segalanya. Mereka naik mobil, melaju tanpa arah yang jelas. Semakin jauh mereka pergi, semakin jarang lampu jalan menyala. Suasana mulai berubah menjadi mencekam. Reza berbicara tentang masa lalunya, kali ini lebih terbuka, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti jebakan.
“Aku pernah mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, Aurora,” katanya sambil mengeratkan genggamannya di setir. “Tapi dia meninggalkanku. Dia membuatku merasakan sakit yang tak pernah hilang.”
Aurora terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat saat kalimat itu menggantung di udara.
Mobil berhenti di sebuah gudang tua, di tengah-tengah hutan yang jauh dari pemukiman. Aurora merasakan getaran aneh di dalam dirinya, seolah ia sedang berada di ambang sesuatu yang berbahaya.
Reza keluar dari mobil dan mengajaknya masuk ke dalam gudang. Gudang itu kosong, berdebu, dan gelap. Di sudut ruangan, Aurora melihat sesuatu yang membuatnya menggigil: sebuah kursi kayu dengan tali melingkar di lengannya, seperti alat untuk mengikat seseorang.
“Apa ini?” Aurora bertanya, suaranya bergetar.
Reza tersenyum tipis, senyum yang tidak lagi menenangkan seperti dulu. “Ini adalah tempat di mana segalanya berakhir… dan dimulai.”
Seketika Aurora merasakan bahaya yang nyata. Dia berbalik ingin lari, tapi Reza sudah di belakangnya, menariknya dengan kekuatan yang tidak ia duga. Tangannya menggenggam erat lengan Aurora, dan dia membawanya ke kursi itu. Aurora berjuang melawan, tapi Reza terlalu kuat.
“Sssst… Tenang, sayang,” bisiknya di telinga Aurora. “Kau tidak akan terluka, selama kau tidak seperti yang lain.”
Kata-kata itu memotong udara, membuat Aurora menyadari bahwa Reza bukanlah orang biasa. Pikiran tentang masa lalu Reza, wanita yang disebutnya—mungkin wanita itu bukan hanya “meninggalkannya.” Mungkin dia… tidak pernah bisa meninggalkan Reza.
“Apa maksudmu, Reza? Apa yang kau lakukan?” Suara Aurora gemetar, namun dia mencoba tetap tenang, mencari celah untuk melarikan diri.
“Kau harus memahami rasa sakitku. Kau harus merasakannya agar kau tahu bahwa aku mencintaimu lebih dari segalanya,” ucapnya sambil mengikat Aurora di kursi.
Di saat Aurora mulai merasa tak ada harapan, suara tawa lembut terdengar dari pintu gudang. Suara yang familiar, namun tak mungkin ada di tempat ini.
“Sempurna,” suara itu berkata. Seorang wanita muncul dari balik bayangan, wajahnya tersenyum penuh kemenangan. Wanita itu adalah… Aurora. Bukan cerminan, tapi diri lain yang tampak lebih gelap, lebih dingin.
Aurora yang terikat menatap dengan ngeri. Itu dirinya, tapi… bukan. “Siapa kamu?” desisnya, hampir tak mampu berkata-kata.
Wanita itu—diri gelap Aurora—melangkah mendekat. “Aku adalah bagian dari dirimu yang kau coba lupakan, Aurora. Bagian yang menikmati kegelapan. Kau ingat, bukan? Kita yang memulai semua ini. Aku yang membuatnya mencintai kita. Sekarang, aku yang akan menyelesaikannya.”
Tiba-tiba, segala yang terjadi terasa seperti teka-teki yang terpecahkan. Reza bukan psikopat yang memburu Aurora. Dia adalah korban manipulasi Aurora—versi dirinya yang lebih gelap. Selama ini, Aurora membiarkan sisi kelamnya memimpin, membentuk hubungan yang tidak sehat dan penuh bahaya. Kini, saat semuanya telah mencapai puncaknya, sisi gelap itu mengambil alih.
Aurora, yang terikat, berusaha melawan dalam pikirannya. Tapi bagian dirinya yang gelap sudah terlalu kuat, terlalu dalam tertanam.
“Sekarang, Reza,” perintah Aurora yang gelap. “Lakukan apa yang perlu kau lakukan.”
Reza, dengan tatapan yang kosong namun penuh ketundukan, mengeluarkan pisau dari balik jaketnya. Aurora yang asli hanya bisa menatap dengan ketakutan yang melumpuhkan. Kebenaran yang menyakitkan menyadarkannya bahwa cinta yang ia pikir murni adalah hasil dari permainan psikologis yang ia ciptakan sendiri, dan kini, ia menjadi korban dari permainannya sendiri.
Langit di luar mulai bergemuruh, seolah hujan dan badai ikut merasakan kekacauan yang terjadi di dalam gudang itu. Dan dalam detik-detik terakhir, Aurora hanya bisa menatap dirinya sendiri, terjebak dalam bayangan cinta dan kegilaan yang ia ciptakan.