Home OPINI Pemiluma: Panggung Sandiwara yang Menyedihkan

Pemiluma: Panggung Sandiwara yang Menyedihkan

26
0

Oleh : Sugianto Mancari
Pengurus LPM Qalamun

Hari-hari di bawah langit Datokarama yang biasa saja berubah menjadi panggung penuh gimik. Para calon ketua ormawa berbaris, bersorak, memekik semboyan penuh retorika. Kampus yang seharusnya menjadi ladang subur intelektual malah menjelma menjadi arena gladi resik politik murahan layaknya pasar malam yang riuh dengan janji-janji palsu.

Pemiluma (Pemilihan Umum Mahasiswa) UIN Datokarama Palu tahun ini bukan sekadar kontestasi gagasan, tapi pertarungan yang penuh siasat sektarianisme. Gagasan besar tentang perubahan dikorbankan di altar kepentingan kelompok. Mereka yang ingin berkuasa menyulap identitas menjadi senjata; agama, suku, dan golongan yang dulu dirayakan sebagai anugerah kini dijadikan jurang pemisah.

Para calon tak lagi berbicara tentang masa depan. Yang ada hanyalah pameran gimik, seperti badut sirkus yang merayu tepuk tangan penonton tanpa memikirkan apa yang terjadi setelah tirai tertutup. Debat hanya menjadi ajang saling lempar jargon kosong. Di mana narasi keberpihakan pada mahasiswa? Di mana suara mereka yang terpinggirkan?

Lebih menyedihkan lagi, mahasiswa yang menjadi pilar perubahan justru larut dalam permainan ini. Dukungan tak lagi diberikan berdasarkan gagasan, melainkan karena kedekatan, kesamaan identitas, atau janji-janji pragmatis. Politik uang mulai mengintai, meski samar, seperti bayangan hantu di malam hari.

Bukankah seharusnya kampus menjadi benteng terakhir akal sehat? Bukankah kampus adalah tempat kelahiran pemimpin masa depan yang berpikir kritis, bertindak adil, dan berani melawan ketidakadilan? Tapi apa yang kita lihat hari ini? Pemilu kampus lebih mirip panggung sandiwara yang penuh dusta.

Ini bukan sekadar protes, ini jeritan hati bagi mereka yang masih peduli pada masa depan kampus. Kita butuh pemiluma yang menghadirkan gagasan, bukan drama sektarian. Kita butuh pemimpin yang mendengar, bukan mereka yang hanya pintar berbicara. Jangan biarkan kampus kita tenggelam dalam lumpur politik praktis yang tak bermoral.

Hanya ada dua pilihan: bangkit dan melawan, atau diam dan tenggelam.

Previous articlePerbaikan Gedung FTIK Terkendala, Nasibnya Belum Jelas
Next articleSetelah 10 Januari

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here