Home CERPEN Elpis: Harapan Baru yang Datang Setelah Kegelapan

Elpis: Harapan Baru yang Datang Setelah Kegelapan

60
0

Oleh: Hultami Hujanna
Wartawan LPM Qalamun

Ada kalanya, luka tidak hanya terlihat di kulit. Mereka menyusup jauh ke dalam, meresap hingga ke tempat-tempat yang tak bisa dijangkau oleh kata-kata. Aku pernah mencintai, dan dengan cinta itu datanglah perasaan yang membuatku merasa utuh. Namun, ketika semuanya hancur, aku belajar bahwa cinta bukan hanya tentang kebahagiaan semata, tetapi juga tentang kehilangan. Tentang patah hati yang terasa tak akan pernah sembuh.

Setiap kenangan dari masa lalu terus menghantuiku, seperti bayangan yang tak bisa aku lepaskan, meskipun aku mencoba mengabaikannya. Namun, hidup, dengan cara yang misterius, mempertemukanku dengan seseorang yang menawarkan harapan. Aku tidak tahu apakah aku siap membuka pintu itu lagi, tapi tak ada pilihan selain mencoba.

Hidup tidak akan berhenti hanya karena kita takut akan apa yang mungkin terjadi. Suatu hari, saat aku sedang berusaha melupakan semuanya, dia datang. Tidak dengan cara yang dramatis, tidak dengan kata-kata manis yang menjanjikan segalanya. Hanya dengan selalu hadir di dekatku, dengan cara yang begitu sederhana. Yang perlahan membuka mata hati yang lama telah terkunci. Aku tahu dia bukanlah penyembuh yang ajaib, dan aku bukanlah orang yang bisa begitu saja melupakan masa laluku. Namun, entah mengapa, kehadirannya memberi rasa nyaman yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.

Rai, sosok yang begitu sederhana, sangat istimewa di mataku. Tak ada hal mencolok darinya, hanya senyum yang tulus dengan ciri khas mata sipitnya yang selalu memancarkan kehangatan. Cara bicaranya yang tenang dan sikapnya yang begitu sabar memberi rasa nyaman. Mungkin, hal paling menonjol darinya adalah ketulusan yang ia bawa, sesuatu yang terasa langka di dunia yang serba cepat ini. Bagiku, itu sudah cukup. Sederhana, tapi memiliki kedalaman yang sulit dijelaskan.

Hari itu, awan hitam mulai terbentuk, menutupi cahaya sang surya yang begitu terik. Seketika langit cerah berubah menjadi kelabu, hujan rintik pun turun. Saat itulah Tuhan mempertemukanku dengannya.

Aku berkata, “Hmm… siapa sih itu? Sok cool banget.”
Teman di sebelahku menjawab, “Ohhh, itu Rai. Dia memang orangnya kayak gitu. Bukan sok cool, tapi emang cool dan ganteng pula. Wow deh pokoknya!”
“Wow dari mananya? Orangnya aja terlalu banyak gaya,” gumamku.

Ya, itu adalah kesan pertamaku bertemu dengannya. Cukup membosankan dan sungguh singkat. Dan hari itu pun berlalu tanpa ada sesuatu yang spesial terjadi.

Suatu ketika, aku pergi ke perpustakaan untuk meminjam sebuah buku. Aku membuka pintu hendak keluar dan—bruuk—aku menabrak seseorang yang tak lain adalah dia, Rai.

Mungkin itu adalah cara Tuhan mempertemukanku dengannya untuk kedua kalinya, dan sungguh, itu pertemuan yang tak terduga. Dia langsung sigap membantuku berdiri.

“Aduh, sakit sekali…” kataku singkat.
“Maaf, saya sungguh minta maaf… Saya benar-benar tidak melihatmu tadi.”
“Saya tidak apa-apa, tapi… bukunya jadi basah dan rusak. Bagaimana ini?”
“Kamu tenang saja, saya akan mengganti kerugiannya. Tapi tidak sekarang, karena saya sedang buru-buru.”

Tiba-tiba dia menyodorkan ponselnya.

“Bolehkah saya meminta nomor ponselmu? Saya akan menghubungimu nanti untuk mengganti rugi…”

Aku pun, dengan setengah keyakinan, memberikan nomorku padanya. Aku sudah pasrah, entah dia sungguh akan mengganti rugi atau itu hanya caranya lari dari masalah.

“Oh iya, nama saya Rai. Kamu?”
“Saya Dini.”

Dia pun pergi berlalu dengan langkah tergesa-gesa.

Sehari kemudian, terdengar notifikasi dari nomor yang tak dikenal. Ternyata itu Rai. Dia mengirimi pesan bahwa dia hendak mengganti kerugian pasca tabrakan di perpustakaan. Aku pun mengiyakan, dan hari itu aku bertemu dengannya.

Kami berdua bersama-sama datang ke perpustakaan untuk mengganti buku yang telah rusak. Setelah itu, dia mengajakku ke kantin.

“Saya traktir, ya. Anggap sebagai tanda permintaan maaf karena sudah menabrakmu kemarin.”

Awalnya aku menolak, namun dia meyakinkanku karena dia benar-benar merasa bersalah. Akhirnya, aku mengiyakan ajakannya.

Setelah pertemuan itu, aku dan Rai perlahan mulai akrab. Kami selalu saling menyapa saat bertemu, dan terkadang membuat janji untuk bertemu.

Empat tahun berlalu begitu cepat. Aku dan Rai lulus bersama di universitas, meskipun dengan jurusan yang berbeda. Namun, di saat itu juga merupakan pertemuan terakhirku dengannya. Dia harus pergi bekerja di kota lain, sementara aku melanjutkan S2 di luar negeri. Kami berpisah tanpa ada kejelasan dalam hubungan ini.

Hari-hariku dipenuhi dengan berbagai kegiatan kampus. Setahun lebih terasa begitu singkat, hingga aku pun selesai menempuh S2. Aku kembali ke Indonesia dan berkumpul kembali bersama keluargaku.

Sebulan setelah kepulanganku, Mama menyuruhku bersiap karena katanya ada tamu yang akan datang ke rumah. Aku tak berpikir panjang, meski rumah cukup ramai oleh keluarga terdekat.

Malam pun tiba. Suara klakson mobil terdengar. Mama langsung memanggilku keluar rumah untuk menyambut tamu itu.

Aku sungguh terkejut. Pria yang selama empat tahun begitu dekat denganku di perkuliahan kini berdiri di hadapanku. Ya, dia adalah Rai. Namun, kali ini dia tampak berbeda—karismatik dan terlihat mapan dengan setelan jas yang dikenakannya.

Aku lebih terkejut lagi saat melihat dia datang bersama rombongan keluarganya, membawa sebuah buket bunga di tangannya.

Kami duduk di ruang tamu. Lalu, Rai mulai mengutarakan maksud kedatangannya.

“Pak, Bu, sebelumnya terima kasih atas jamuannya dan izin yang diberikan kepada saya beserta keluarga untuk datang malam ini. Saya sudah lama mengenal anak Bapak dan Ibu, dan sebenarnya dari dulu saya ingin mendatangi kalian dengan maksud melamar Dini. Namun, saat itu saya masih belum layak. Tetapi sekarang, saya sudah yakin dengan langkah yang saya ambil. Dengan memohon ridho Allah dan restu orang tua, saya bermaksud melamar Dini untuk menjadi istri dan pendamping hidup saya selamanya.”

Aku terdiam, tak percaya dengan apa yang terjadi. Aku pikir Rai tak punya perasaan apa-apa terhadapku. Namun, setelah setahun lebih menghilang tanpa kabar, dia tiba-tiba datang melamarku.

Perasaanku campur aduk. Aku bingung, namun di satu sisi aku bahagia. Karena memang, dia yang selama ini ada di hatiku.

“Ya, aku menerimanya.”

Papa dan Mama juga merestui. Sebulan kemudian, akad pernikahan dilangsungkan.

Air mata menetes saat aku menyaksikan Rai mengucapkan akad. Papa dan Mama tersenyum bahagia, begitu pula orang tua Rai.

Cinta tak selamanya mudah, tak selalu membawa kebahagiaan. Namun, mencintainya membuatku bahagia. Tidak ada persyaratan dalam cinta, maka tak seharusnya ada penyesalan.

Aku percaya, Tuhan selalu memiliki cara yang indah untuk menghadirkan harapan baru setelah kegelapan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here