Oleh: Nur Syam Solehah
Wartawan LPM Qalamun
Di suatu sore yang hening,
saat angin meniupkan wangi dedaunan kering,
ia berdiri di bawah pohon tua,
yang daunnya perlahan jatuh satu per satu.
Dunia di sekitarnya terus bergerak cepat, tetapi tidak dengannya.
Ia tetap diam di sana — seolah menunggu sesuatu
yang hanya bisa dipahami oleh hatinya sendiri.
Wajahnya teduh, tatapannya jauh.
Sesekali ia mendongak ke langit,
mengamati warna biru yang membentang tak bertepi,
seolah mencari sesuatu yang sejak lama hilang.
Hingga kemudian, dari sela-sela dunia yang penuh bising,
langkah kecil mendekat.
Dia — gadis yang matanya membawa langit,
yang tutur katanya membawa ketenangan,
yang diamnya berbicara lebih banyak daripada seribu kalimat.
Biru.
Sebiru laut yang dalam.
Sebiru harapan yang pernah ia kirimkan diam-diam di sepertiga malam.
Saat itu, dunia seolah menepi.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya,
ia mengerti apa rasanya menjadi laut
yang akhirnya menemukan langitnya.
Dua biru yang lama saling mencari, kini bertemu,
menyatu tanpa perlu banyak kata, hanya dengan saling memandang.
Tak ada yang berlebihan.
Tak ada yang dipaksakan.
Seperti laut dan langit yang bertemu di cakrawala —
sederhana, namun tak pernah bisa dipisahkan.
Ia bukan figuran yang hanya lewat dalam kisah hidupnya.
Ia adalah jawaban.
Ia adalah rumah.
Dan di bawah pohon yang daunnya berguguran,
disaksikan langit sore yang mulai berwarna keemasan,
dua jiwa itu akhirnya tahu:
apa yang selama ini mereka pinta,
apa yang mereka jaga dalam diam,
kini benar-benar menjadi nyata.
Sejak hari itu, tidak ada lagi pencarian.
Hanya perjalanan.
Bersama-sama.
Selamanya.







